Wednesday 3 May 2017

Kuli di Semarang

Tugas seorang kuli konon anjuran dari orang tua semenjak ritual masa coret-coretan seragam putih abu dilakukan. Kuli tak ubahnya seorang yang bekerja berangkat pagi sampai sore bahkan sampai malam. Kuli yang saya tekuni terlebih karena ada rasa ketertarikan yang mendasar sekaligus bisa mengasah ketrampilan kemudian melahirkan sebuah profesi. Kuli yang telah disepakati banyak orang adalah mereka kaum pekerja yang bertahan dari otot-otot yang berada dibalik tangan serta punggung yang kekar melebihi batas normal manusia biasa. Tidak ada perbedaan keduanya antara esensi kuli yaitu sama-sama berusaha.

Namun tidak hanya sekedar itu, karena pada dasarnya manusia mempunyai tujuan yang sama yaitu memperbaiki  kehidupan. Makna yang terbesit dari arti kehidupan itu sendiri menurut saya bersifat berkelanjutan tidak hanya sebatas fisik mempunyai massa (padatan) ataupun waktu tertentu. Artinya sesuatu yang telah dilalui dari sama-sama sedang dalam dunia pendidikan ataupun bekerja secara langsung ada hubungan komunikasi dari sang pencipta. Yang membedakan diantara keduanya hanya masalah kualitas sinyal komunikasi yang terhubung dan masing-masing individu mempunyai porsi serta cara menyikapinya.

Kota Semarang sebagai tempat terindah ke dua dari kota kelahiran. Dulu saat pertama singgah 7 hari di Kota Atlas menurut peraturan kelurahan harus memiliki kartu domisili dari kelurahan setempat sebagai penduduk sementara dan terasa ini adalah kaidah teraman, karena E-KTP pada tahun 2006 pun belum ada. Beruntung keadaan pagi disaat membuka jendela masih terhampar kebun kosong meski diisi oleh semak-semak hijau lalu sedikit kabut turun hanya beberapa menit kemudian pergi seiring munculnya sinar matahari. Lalu masih ada persawahan sempit yang membatasi antara sungai kecil disitulah saya menemukan Semarang benar-benar nyaman sebelum memulai aktifitas.

Porsi pertemananan sangat memperhitungkan sepak terjang dari memahami kemampuan latar belakang yang dibawa dari rumah. Tidak heran kalau ada selaput tipis yang membatasi ruang gerak khususnya cara bergaul disaat lainnya harus nge-mall ataupun sekedar nonton film di E-Plaza Simpang Lima. Maka ketertarikan dari teman-teman lebih menyempatkan diri ala “Si Bolang” menelusuri persawahan pinggiran jalan tol exit Tembalang dan ini sangat membuat nyaman.

Keadaan sosial saling memberi kontribusi dari masing-masing karakter teman dan masyarakat setempat secara langsung memberikan andil membentuk komunitas baru, mengenal satu sama lain. Karakter dari daerah cukup berpengaruh khusunya mengenai tutur kata, dialek serta etika yang dihadapkan dalam satu momen kebiasaan sehari-hari. Dari sini maka pelajaran hidup sangat kaya akan rasa memahami, mengerti, tenggang rasa bahkan rasa saling memiliki atas nama satu keluarga yang mempunyai tujuan sama. Keadaan lain terikat oleh sebuah komunitas masyarakat Semarang yang sudah mapan secara ekonomi karena aspek berbagai cara yang ditempuh mereka baik dari jasa “kos-kosan” yang menghasilkan tambahan finansial tiap bulan. Komunikasi verbal terjalin sebagai penghormatan kepada masyarakat pemilik daerah setempat dan mereka pun telah disibukkan oleh tugasnya.

Semarang tidak jauh beda dengan daerah sama di sekitar Jawa Tengah, secara sosiologi bahasa komunikasinya masih menggunakan Bahasa Jawa ini yang menyatukan pemahaman serumpun bahkan senasib sebagai orang Jawa. Pada akhirnya saya sangat terkesan pernah menjadi warga Kota Semarang.


foto : google.infotembalang


No comments:

Post a Comment