Wednesday 3 August 2016

Titik 0 Cahaya Lentera

Dharma mulai menginjakkan kakinya di jalan, sudah seperempat jam lebih beristirahat di sebuah masjid. Sosok pemuda mengenakan baju putih dengan segala penat di wajahnya dengan sepeda kuning dibiarkan berada di samping tembok pagar. Lalu ia pun duduk diatas lantai menghadap selatan dibukanya sepatu seakan bergegas ke tempat wudhu.

Langkah kaki berjalan sembari sesekali tangan memastikan kedua saku celana membawa sebuah telepon genggam diraihnya keluar tak lama kemudian dimasukan kembali. Lagi-lagi ia mungkin teringat sebuah peringatan harus mematikan telepon gengam di dalam masjid. Wajahnya kembali segar setelah berjalan dari lorong belakang tempat wudhu, bergegasnya masuk melalui pintu pertama menuju shaf.

Dharma mengurungkan sebuah niatnya meninggalkan rasa nyaman beristirahat. Rasa kantuk belum selesai pergi dari sepoinya angin melelapkan serasa mulutnya berkali-kali menguap tak tertahankan.
Kaki Dharma lurus telentang setengah badannya bersandar disebuah tembok. Hilir mudik para jamaah lainnya tak menghiraukan pasrahnya keadaan mempersilakan semuanya melewati begitu saja.

“Permisi pak...”, laki-laki itu melewati kedua kakinya.
“Iya silakan...mas”, Dharma pun terus meneliti gerak geriknya.
“Sering datang ke masjid ini Pak?”, tanya pemuda kepada Dharma.
“Gak juga kok mas, kebetulan kali ini lewat sini sekalian dhuhuran aja”, jawab dharma seakan bahagia bisa berkomunikasi dengan pemuda yang dalam hati sangat penasaran.
“Mas sendiri sering mampir kesini ya?”, Dharma membalas bertanya.
“Kalo sering sih gak juga Pak, tapi kalau ada waktu luang, ya langsung kesini”,
 “Bapak dagang dimana kok bawaannya lumayan banyak ya?, pemuda itu antusias dengan percakapannya dengan Dharma.
“Iya hari ini pasaran mas, jadi bawa dagangannya rada banyak ”,balas dharma.
“Mas nya kerja dimana jam sekarang masih istirahat ya?”
“Kerja disebelah masjid sini Pak, kalau kerja ku gak ada istirahatnya jadi kalo kerjaan kosong baru bisa keluar ke masjid”, jawab pemuda sembari membetulkan celana yang dilipatnya.
“Ohh...begitu ya mas, tapi aku baru lihat mas anak muda yang mau naek sepeda, kerja kantoran lagi kok ya masih ada ya ternyata”, ucap Dharma merasa keheranan.
“Iya pak...sepeda ini hanya satu-satunya alat transportasi di rumah”,
“Kemaren aja sebelum aku lulus kuliah sepeda ini sering digunakan Ibu ku ke bank untuk mengirim uang, jadi kurang sopan jika aku tidak merasakan jerih payah ibu”, pemuda itu bercerita kepada Dharma.
“Emm....gak mengira ya mas, ternyata manusia perlu proses juga”,ujar Dharma mengambil hikmah dari cerita tersebut.
“Pak saya pamitan dulu ya, udah lama aku disini”, pemuda itu bersalaman dengan dharma.
“Iya mas silakan, aku juga mau kembali ke pasar, yuk sama-sama pulang”, jawab Dharma sambil mengambil sandal  jepitnya.

Sesegera pemuda mengambil sepatunya siang mulai berjalan terasa pertemuan harus segera berakhir. Pemuda itu pun berpamitan dan Dharma beranjak keluar membawa sepeda yang penuh barang dagangan. Percakapan mereka berakhir setelah mereka beranjak dari lantai masjid.

No comments:

Post a Comment