Sunday 7 August 2016

Blangkon Keluwesan Berbusana

Lek Naryo pagi itu sudah disuruh istrinya membeli nasi megono tepat di warung Lek Juminten yang terkenal dengan megono sangitnya. Sambil tergopoh-gopoh Lek Naryo berjalan seakan tidak ada spasinya meskipun menoleh kepala kesamping kiri maupun kanan. Belum sampai di warungnya tepat di depan KUD tiba-tiba Lek Pardi bertanya,

“Lek Naryo...”, sambil memanggil nada kencang.
“Kok sepertinya gugup sekali jalannya?”, tanya Lek Pardi yang sedang naik motor.
“Iya Lek Pardi mau beli megono di Warung Lek Juminten”,
“Kok buru-buru banget Lek Naryo”, Lek Pardi kembali bertanya.
 “Soalnya kalo gak cepat jalannya, nanti keburu ramai warungnya”, jawab Lek Naryo sembari menoleh ke arah Lek Pardi.
“Owalah...ayo ikut bareng saja kebetulan saya mau ke KUD sekalian”, pinta Lek Pardi yang kemudian disetujui oleh Lek Naryo.

Sesampainya di depan warung, Lek Pardi memakirkan motornya yang bersebelahan dengan sepeda Kang Wardoyo. Ternyata Kang Wardoyo sudah berada di warung lebih dahulu dibandingkan mereka. Lek Naryo merasa keget ternyata didalam warung sudah ada Kang Wardoyo.

“Lho...Kang War udah nyampe sini apa gak nyawah?”,
tanya Lek Naryo sembari melangkah duduk di kursi panjang.
“Udah Lek Naryo, hari ini masih nunggu kiriman air untuk tandur. Lha Lek Waryo sendiri kok tumben pagi-pagi betul sudah datang ke warung?balas Kang Wardoyo.
“Anu Kang...istri mau ada acara arisan kebetulan yang ngunduh rumahnya jauh jadi berangkatnya lebih pagi...Lha sekarang saya disuruh beli sarapan megono”, ucap Lek Naryo sambil memilih tempe goreng nampan plastik di depannya.
“Ooo...begitu Lek Naryo?”
“Wah...hebat ya...istrimu bergaulnya dengan orang-orang kota arisan saja sampai harus berangkat pagi-pagi”, balas Kang Wardoyo menanggapi jawaban Lek Naryo.

Seketika itu juga Mbah Roso datang dengan tubuh membungkuk membawa sebuah tongkat kira-kira panjangnya 80 sentimeter dari kayu rotan. Tanpa basa-basi Mbah Roso masuk warung kemudian memesan nasi megono kepada Lek Juminten.

”Jum...Nasi megono satu ya, jangan dikasih sambel”, pesan Mbah Roso kepada Lek Juminten.
“Iya Mbah sebentar ya...Tak bungkusin pesanan Lek Naryo dulu”, jawab juminten.

Keadaan berbalik arah percakapan antara Lek Naryo dengan Kang Wardoyo setelah Mbah Roso datang. Tapi tiba-tiba Kang Wardoyo ingat kejadian semalam melihat Lek Dharma memakai blangkon menuju acara selametan ditetangga desa. Kang Wardoyo langsung bertanya kepada Lek Naryo yang jarak rumahnya dengan Lek Dharma bersebelahan.

“Lek Naryo...Aku mau tanya sesuatu tentang Lek Dharma”, sembari mengerutkan keningnya.
“Tanya tentang apa ya Kang Dharma?”. Balas Lek Naryo dengan rasa penasaran.
“Semalam itu saya melihat Lek Dharma memakai blangkon hitam dan pakaiannya juga hitam sampai celananya pun warnanya hitam”,
“Apa Lek Dharma ikut aliran kejawen Lek Naryo?” tanya Kang Wardoyo dengan nada pelan.

Lek Naryo masih diam sambil menghabiskan tempe goreng yang ada dimulutnya. Seakan dia akan segera ingin menjawab dari pertanyaan Kang Wardoyo.

“Lha kok Kang Wardoyo bisa tau kalau Lek Dharma ikut aliran kejawen?”, balas Lek Naryo.
“Ya itu kan kira-kira saja Lek Naryo makanya saya tanya, kali aja tau dengan kebiasaan Lek Dharma”, jawab Lek Wardoyo dengan nada sedikit penyesalan atas prasangka dalih atas perkiraan.

Mbah Roso yang duduk bersebarangan dari mereka secara tidak sengaja mendengar yang dibicarakan keduanya. Namun beliau seakan tak menggubris percakapan seakan menimbulkan sebuah tanya tanya yang belum terjawabkan.

“Lha menurutmu aliran kejawen itu lebih seperti apa Kang Wardoyo?”, Lek Naryo menimpali pertanyaan yang ditujukan kepada Kang Wardoyo.
“Ya sepertinya lebih mementingkan budaya jawa daripada agamanya yang aku tahu seperti itu”, pungkas Kang Wardoyo.
“Ohhh...berarti kalau ada orang yang suka memakai blangkon berarti urusan agamanya dikesampingkan seperti itu Kang?”, tanya kembali Lek Naryo.
“Yaa...kurang lebihnya seperti itu Lek Naryo”, balas Kang Wardoyo dengan nada bimbang.
“Apa coba tanya Mbah Roso saja yang mengetahui makna blangkon yang sesungguhnya?”, usul Lek Naryo disela-sela percakapan itu.

Pembicaraan mereka terasa buntu dalam menyikapi fenomena tingkah laku Lek Dharma yang akhir-akhir ini memakai blangkon. Terasa belum ada yang bisa memberi arahan secara positif dari hikmah pemberitaan tersebut.

“Pripun Mbah Roso menurut simbah?”
“Lek Dharma kok akhir-akhir ini sering memakai blangkon apa beliau ikut aliran kejawen ya mbah?”, ucap Kang Wardoyo seakan masih penasaran terhadap kepastian jawabannya.
“Aku kok dari tadi mendengar kalian bercerita mau tertawa sendiri”, jawab Mbah Roso.
“Lha kok malah tertawa tho Mbah?”, ungkap Lek Naryo merasa keheranan.
Sementara Kang Wardoyo seakan buntu tak berkata apapun setelah Mbah Roso mulai angkat bicara.

“Gimana gak ketawa sendiri, kekurangan kalian itu menilai berdasarkan pakaian seseorang sedangkan pakaian itu terletak hanya diluarnya saja. Bisa pula penilaianmu sesuai dengan tingkah lakunya bisa juga tidak sama alias berbeda”, suasana terasa ada pencerahan dari pitutur simbah.

“Sedangkan masalah blangkon itu tidak hanya dipakai oleh aliran kejawen lha dulu walisongo pun menggunakan blangkon sebagai wujud kecintaan budaya jawa. Jadi kalau Lek Dharma menggunakan blangkon bukan berarti mengesampingkan agama, tapi melestarikan budaya jawa sebagaimana ia bangga lahir dan hidup bersama budayanya”, pungkas simbah memberikan penjelasannya.

“Ohh...begitu ya Mbah...Saya baru mudheng dan saya lebih mengerti tentang menilai seseorang”, jawab Kang Wardoyo.

“Lek Naryo...ini nasi megononya 3 bungkus dan tempe gorengnya sudah matang ada didalamnya”, ucap Lek Juminten sembari memberikan bungkusan plastik kepada Lek Naryo.

Percakapan diantara mereka telah usai setelah Lek Naryo membayar pesanan nasi bungkusnya dan membawa hikmah pelajaran untuk selalu berhati-hati menilai seseorang dari sebuah penampilan semata.

****

(tidak ada hubungan antara penokohan cerita dengan foto, hanya untuk memudahkan bentuk blangkon)




No comments:

Post a Comment