Thursday, 9 February 2017

Transparan Tidak Sama Dengan Terbuka

Pernah kita mendengar atau bahkan mengucapkan istilah transparan misalnya menyebut casing hp transparan, plastik kresek transparan, payung transparan, jas hujan transparan, baju transparan, kaca bening transparan dan lain sebagainya. Dari masing-masing yang disebutkan diatas mempunyai kriteria, resolusi keburaman serta keamanan yang berbeda.

Transparannya casing hp harus presisi sesuai dengan originalnya, transparannya plastik kresek tidak harus bening, putih pun ada yang masuk kategori transparan apabila bisa terlihat dari luar. Transparannya payung ada yang didesain mempunyai resolusi keburaman yang cukup tinggi agar bisa digunakan disaat musim kemarau. Maka transparaannya payung masih memperhatikan prespektif lain yang memungkinkan ada manfaat lain sebagai penghalau sinar matahari.

Jas hujan transparan pun tidak selalu bening ada yang mempunyai batasan sesuatu yang tidak bisa menampakkan wujud aslinya. Begitupun baju transparan, bukan berarti harus berbentuk seperti plastik bening, akan lebih medasar dari tipisnya kain yang digunakan dalam baju tersebut.

Kaca bening transparan, bisa memperlihatkan keadaan didalam kaca, segala macam bentuk  apapun akan  terlihat dari luar kaca. Terlebih apabila Sang Empu pemilik kaca rajin memberikan ucapan pembersih dan pengkilat kaca maka hampir tidak ada pembatasnya. Kejadian lucu biasanya terekam kamera CCTV disaat ada seseorang yang mengira bahwa ruangan tersebut tidak berkaca, kemudian langsung saja menerobos masuk, akhirnya terbenturlah bagian kepalanya dan berkata, “Ohh...ternyata ada kacanya!”

Semuanya meski sama-sama transparan tapi masih ada batasnya sebagai pemisah dua ruang.

“”” 

Beberapa sahabat saya bercerita mengenai berbagai problematika pekerjaan yang berada lini instansi. Dari berbagai cerita yang datang mempunyai tema yang sama yaitu mengenai transparansi keuangan. Hampir semua lapisan masyarakat menginginkan sebuah sistem penglelolaan keuangan yang transparan. Phobia mengenai penguasaan keuangan yang bersifat tertutup dan lebih berpotensi mengakibatkan penyelewengan dana masih saja mengiang. Perpindahan penyalahgunaan wewenang keuangan sentralis sekarang sudah merambah hierarki ke bagian menengah ke bawah. Cara pandang sisi hidup yang serba matrealis dari pemegang kewenangan yang melahirkan bentuk pelumas roda-roda sistem yang ilegal dan berpotensi terhadap penyelewengan.

Lingkungan yang menyangkut keuangan berbagai tingkatan dari pemerintahan dari tingkatan, RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten dan seterusnya. Instansi pelayanan baik milik pemerintah, BUMN, swasta, yayasan hingga perorangan. Pengelolaan keuangan suka rela yang  berlaku di fasilitas tempat peribadatan misalnya masjid, mushola dan lain sebagainya. Semuanya itu mempunyai cara tata pengelolaan yang tidak sama dari visi dan misinya, orientasi profit dan non profit serta pemegang kewenangannya.

Pengertian transparansi pengelolaan keuangan yang ada dipemikiran masyarakat umum yaitu mengenai bentuk fisik laporan keuangan antara pemasukan dan pengeluaran yang dapat diakses oleh semua pihak dan dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Meski telah ada beberapa instansi, lembaga, yayasan yang menerapkan pola-pola keuangan yang transparan namun pengertian transparan tersebut sudah sama halnya yang diinginkan oleh masyarakat?. Kalaupun ada laporan keuangan yang di blow up ke khalayak apa benar-benar keadaan keuangan yang faktual dan menjunjung tinggi sifat kejujuran?. Lalu sejauh mana interaksi laporan keuangan dipertanggung jawabkan, kepada siapakah ada tendensi politik atau tidak?. Atau ini hanyalah jawaban retorika yang diinginkan masyarakat atas tuntutannya namun masih ada batasan mengenai resolusi kegiatan yang berkembang atas laporan keuangan tersebut?.

Saya menangkap maksud yang diutarakan beberapa sahabat saya mengenai keinginannya dalam sebuah instansi yang menerapkan pola laporan keuangan yang transparan. Meski keinginannya sangat sederhana yaitu memaparkan segala bentuk seluk beluk kegiatan beserta laporan keuangan dipampangkan ke ruang publik sehingga dapat diakses masyarakat. Saya pun tidak lantas beda pendapat namun saya lebih bisa mengambil jarak kemudian lantas berfikir sejenak.

Ternyata ada juga yang menafsirkan pola keuangan transparan dengan secara bebas menginginkan segala informasi mengenai pendapatan dari sumber daya manusia yang bekerja di instansi. Baik dari sumber serta porsi-porsi dasar pembagian pendapatan tersebut. Dari 2 penafsiran transparansi pola keuangan sudah beda motivasi yang hanya sekedar ingin mengetahui atau malah ingin membandingkan segi pendapatan dari setiap profesi.

Menimbang mengenai pendapat pertama tentang pengeleloaan keuangan yang bisa diakses oleh masyarakat sangatlah perlu pada batas pemasukan dan pengeluaran secara global. Lantas apabila memang demikian dilakukan, keuntungan yang didapatkan oleh masyarakat yaitu mengetahui jalannya pelayanan atau kegiatan instansi. Pertanyaan lain kepada masyarakat, apabila laporan pengelolaan keuangan dapat diakses oleh publik, seberapa jauh tingkat kepercayaan akurasi mengenai laporan dengan kenyataan kegiatan di lapangan? Bagi masyarakat awam melihat kegiatan yang begitu fantastis anggaran yang digunakan. Tolok ukur pada masyarakat hanya sebatas hubungan kegiatan pada umumnya sedangkan di instansi membutuhkan berbagai pihak terutama mengenai proses dari melakukan pengkajian, pengajuan, persetujuan hingga aksi tindak lanjut prosedural dan membutuhkan biaya. Pada akhirnya hakim tertinggi terletak pada persepsi publik yang mempunyai keterbatasan pengetahuan tentang laporan keuangan tersebut.

Juga para sumber daya manusia yang berada dilingkup instansi tidak serta merta membuat anggaran sesuai dengan kemauannya. Meskipun pada prosesnya misalnya ada persetujuan dari perwakilan yang mengatasnamakan rakyat. Pertanyaan muncul kembali, seberapa jauhkah persetujuan itu sebagai implementasi menunjukkan jawaban “setuju” oleh sebagian rakyat atau golongan tertentu yang mengatasnamakan rakyat?. Adakah tendensi politik yang melatarbelakangi dari kebijakan yang diberlakukan atas jawaban “setuju” dari perwakilan yang mengatasnamakan rakyat?. Dari berbagai proses yang melibatkan banyak bagian serta kepentingan, transparansi laporan keuangan yang dimaksudkan oleh pemilik kewenangan sangat barang tentu berbeda dengan anggapan yang berkembang di masyarakat.

Bolehlah Saling Tahu?
Ternyata di perusahaan swasta pun ada batasan mengenai pengetahuan jumlah gaji antara sesama karyawan. Kabar tersebut juga dari teman saya yang bekerja di salah satu perusahaan ternama di Semarang. Termasuk tabu menanyakan gaji teman kepada bagian personlia atau bendahara gaji. Jumlah pendapatan merupakan rahasia antara karyawan kepada perusahaan, bisa jadi ada karyawan baru lebih tinggi gajinya dibandingkan dengan karyawan lama karena kemampuan serta ketrampilan perusahaan berani memberikan gaji sesuai dengan porsinya. Bayangkan jika itu benar terjadi kemudian sesama karyawan mengetahui gaji temannya maka konflik horisontal akan sangat sering terjadi. Mungkin karena alasan tersebut maka untuk menggali dan mencari tahu mengenai gaji sesama karyawan sangat tabu di perusahaan. Meskipun secara idealis bahwa transparansi pengelolaan mempunyai kebebasan mendapatkan informasi namun ternyata ada alasan yang mendorong masih ada batasan mengatur agar kondisi pekerjaan lebih kondusif.

Titik Buntu
Sistem yang sudah berjalan berdalih pengelolaan keuangan yang transparan hanya menerapkan proses duplikasi kesempurnaan sistem lain yang sudah berjalan dan mencapai titik pencapaian. Sudah menjadi kebiasaan gaya meniru cara-cara pihak lain namun pengilhaman secara mendalam belum bisa mencapai ke titik pemahaman yang sesungguhnya. Ada beberapa instansi yang mempunyai prinsip orientasi non profit tapi menganut sistem pengelolaan keuangan transparan. Sedangkan setiap kebijakan yang dibuat melahirkan sebuah tarif yang dikenakan atas perlakuan pelayanan kepada pelanggannya. Artinya dalam racangan peraturan setiap tarif dibuat pasti ada pertimbangan antara bahan baku dan keuntungan yang akan diraih atau pencapaian target-target tahunan sama halnya perusahaan yang berorientasi keuntungan. Kembali lagi mengacu kepada profil instansi bahwasanya merupakan lembaga non profit tapi masih ada takaran dalam bentuk tarif dan target mengenai pencapaian pendapatan, semakin mblunder saja pengertian yang kontra produktif antara tujuan awal hingga akhir pencapaian.


Transparan tidak sama dengan terbuka maka tetap ada batasan yang mengikat antara sesuatu yang bisa ditampilkan atau disembunyikan. Sedangkan prinsip terbuka mencakup keadaan ramah antara pemegang wewenang kepada bagian-bagian dibawahnya bukan mengedepankan ambisi melihat sebuah koreksi. Mengkondisikan agar kebijakan yang dibuat tidak berakibat ketimpangan dan miss orientasi. Mengkaji lebih dalam terhadap program antara urgensi dan kepentingan besar yang sangat berdominan mengedapankan proses persetujuan atas beberapa kelompok yang berkuasa.

No comments:

Post a Comment