Pernah kita mendengar atau bahkan
mengucapkan istilah transparan misalnya menyebut casing hp transparan, plastik kresek transparan, payung transparan,
jas hujan transparan, baju transparan, kaca bening transparan dan lain
sebagainya. Dari masing-masing yang disebutkan diatas mempunyai kriteria,
resolusi keburaman serta keamanan yang berbeda.
Transparannya casing hp harus presisi sesuai dengan originalnya, transparannya
plastik kresek tidak harus bening, putih pun ada yang masuk kategori transparan
apabila bisa terlihat dari luar. Transparannya payung ada yang didesain mempunyai
resolusi keburaman yang cukup tinggi agar bisa digunakan disaat musim kemarau. Maka
transparaannya payung masih memperhatikan prespektif lain yang memungkinkan ada
manfaat lain sebagai penghalau sinar matahari.
Jas hujan transparan pun tidak selalu
bening ada yang mempunyai batasan sesuatu yang tidak bisa menampakkan wujud
aslinya. Begitupun baju transparan, bukan berarti harus berbentuk seperti
plastik bening, akan lebih medasar dari tipisnya kain yang digunakan dalam baju
tersebut.
Kaca bening transparan, bisa
memperlihatkan keadaan didalam kaca, segala macam bentuk apapun akan
terlihat dari luar kaca. Terlebih apabila Sang Empu pemilik kaca rajin memberikan ucapan pembersih dan
pengkilat kaca maka hampir tidak ada pembatasnya. Kejadian lucu biasanya
terekam kamera CCTV disaat ada seseorang yang mengira bahwa ruangan tersebut
tidak berkaca, kemudian langsung saja menerobos masuk, akhirnya terbenturlah bagian
kepalanya dan berkata, “Ohh...ternyata ada kacanya!”
Semuanya
meski sama-sama transparan tapi masih ada batasnya sebagai pemisah dua ruang.
“””
Beberapa sahabat saya bercerita
mengenai berbagai problematika pekerjaan yang berada lini instansi. Dari
berbagai cerita yang datang mempunyai tema yang sama yaitu mengenai
transparansi keuangan. Hampir semua lapisan masyarakat menginginkan sebuah
sistem penglelolaan keuangan yang transparan. Phobia mengenai penguasaan keuangan yang bersifat tertutup dan lebih
berpotensi mengakibatkan penyelewengan dana masih saja mengiang. Perpindahan
penyalahgunaan wewenang keuangan sentralis sekarang sudah merambah hierarki ke
bagian menengah ke bawah. Cara pandang sisi hidup yang serba matrealis dari
pemegang kewenangan yang melahirkan bentuk pelumas roda-roda sistem yang ilegal
dan berpotensi terhadap penyelewengan.
Lingkungan yang menyangkut keuangan
berbagai tingkatan dari pemerintahan dari tingkatan, RT, RW, kelurahan,
kecamatan, kabupaten dan seterusnya. Instansi pelayanan baik milik pemerintah, BUMN,
swasta, yayasan hingga perorangan. Pengelolaan keuangan suka rela yang berlaku di fasilitas tempat peribadatan misalnya
masjid, mushola dan lain sebagainya. Semuanya itu mempunyai cara tata
pengelolaan yang tidak sama dari visi dan misinya, orientasi profit dan non profit serta pemegang kewenangannya.
Pengertian transparansi pengelolaan keuangan
yang ada dipemikiran masyarakat umum yaitu mengenai bentuk fisik laporan
keuangan antara pemasukan dan pengeluaran yang dapat diakses oleh semua pihak
dan dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Meski telah ada beberapa
instansi, lembaga, yayasan yang menerapkan pola-pola keuangan yang transparan
namun pengertian transparan tersebut sudah sama halnya yang diinginkan oleh
masyarakat?. Kalaupun ada laporan keuangan yang di blow up ke khalayak apa benar-benar keadaan keuangan yang faktual
dan menjunjung tinggi sifat kejujuran?. Lalu sejauh mana interaksi laporan
keuangan dipertanggung jawabkan, kepada siapakah ada tendensi politik atau
tidak?. Atau ini hanyalah jawaban retorika yang diinginkan masyarakat atas
tuntutannya namun masih ada batasan mengenai resolusi kegiatan yang berkembang
atas laporan keuangan tersebut?.
Saya menangkap maksud yang diutarakan
beberapa sahabat saya mengenai keinginannya dalam sebuah instansi yang
menerapkan pola laporan keuangan yang transparan. Meski keinginannya sangat
sederhana yaitu memaparkan segala bentuk seluk beluk kegiatan beserta laporan
keuangan dipampangkan ke ruang publik sehingga dapat diakses masyarakat. Saya
pun tidak lantas beda pendapat namun saya lebih bisa mengambil jarak kemudian
lantas berfikir sejenak.
Ternyata ada juga yang menafsirkan
pola keuangan transparan dengan secara bebas menginginkan segala informasi mengenai
pendapatan dari sumber daya manusia yang bekerja di instansi. Baik dari sumber
serta porsi-porsi dasar pembagian pendapatan tersebut. Dari 2 penafsiran
transparansi pola keuangan sudah beda motivasi yang hanya sekedar ingin
mengetahui atau malah ingin membandingkan segi pendapatan dari setiap profesi.
Menimbang mengenai pendapat pertama tentang
pengeleloaan keuangan yang bisa diakses oleh masyarakat sangatlah perlu pada
batas pemasukan dan pengeluaran secara global. Lantas apabila memang demikian dilakukan,
keuntungan yang didapatkan oleh masyarakat yaitu mengetahui jalannya pelayanan
atau kegiatan instansi. Pertanyaan lain kepada masyarakat, apabila laporan pengelolaan
keuangan dapat diakses oleh publik, seberapa jauh tingkat kepercayaan akurasi
mengenai laporan dengan kenyataan kegiatan di lapangan? Bagi masyarakat awam
melihat kegiatan yang begitu fantastis anggaran yang digunakan. Tolok ukur pada
masyarakat hanya sebatas hubungan kegiatan pada umumnya sedangkan di instansi
membutuhkan berbagai pihak terutama mengenai proses dari melakukan pengkajian,
pengajuan, persetujuan hingga aksi tindak lanjut prosedural dan membutuhkan
biaya. Pada akhirnya hakim tertinggi terletak pada persepsi publik yang
mempunyai keterbatasan pengetahuan tentang laporan keuangan tersebut.
Juga para sumber daya manusia yang
berada dilingkup instansi tidak serta merta membuat anggaran sesuai dengan
kemauannya. Meskipun pada prosesnya misalnya ada persetujuan dari perwakilan
yang mengatasnamakan rakyat. Pertanyaan muncul kembali, seberapa jauhkah
persetujuan itu sebagai implementasi menunjukkan jawaban “setuju” oleh sebagian
rakyat atau golongan tertentu yang mengatasnamakan rakyat?. Adakah tendensi
politik yang melatarbelakangi dari kebijakan yang diberlakukan atas jawaban “setuju”
dari perwakilan yang mengatasnamakan rakyat?. Dari berbagai proses yang
melibatkan banyak bagian serta kepentingan, transparansi laporan keuangan yang
dimaksudkan oleh pemilik kewenangan sangat barang tentu berbeda dengan anggapan
yang berkembang di masyarakat.
Bolehlah
Saling Tahu?
Ternyata di perusahaan swasta pun ada
batasan mengenai pengetahuan jumlah gaji antara sesama karyawan. Kabar tersebut
juga dari teman saya yang bekerja di salah satu perusahaan ternama di Semarang.
Termasuk tabu menanyakan gaji teman kepada bagian personlia atau bendahara
gaji. Jumlah pendapatan merupakan rahasia antara karyawan kepada perusahaan,
bisa jadi ada karyawan baru lebih tinggi gajinya dibandingkan dengan karyawan
lama karena kemampuan serta ketrampilan perusahaan berani memberikan gaji
sesuai dengan porsinya. Bayangkan jika itu benar terjadi kemudian sesama
karyawan mengetahui gaji temannya maka konflik horisontal akan sangat sering
terjadi. Mungkin karena alasan tersebut maka untuk menggali dan mencari tahu mengenai
gaji sesama karyawan sangat tabu di perusahaan. Meskipun secara idealis bahwa
transparansi pengelolaan mempunyai kebebasan mendapatkan informasi namun
ternyata ada alasan yang mendorong masih ada batasan mengatur agar kondisi
pekerjaan lebih kondusif.
Titik
Buntu
Sistem yang sudah berjalan berdalih
pengelolaan keuangan yang transparan hanya menerapkan proses duplikasi
kesempurnaan sistem lain yang sudah berjalan dan mencapai titik pencapaian. Sudah
menjadi kebiasaan gaya meniru cara-cara pihak lain namun pengilhaman secara
mendalam belum bisa mencapai ke titik pemahaman yang sesungguhnya. Ada beberapa
instansi yang mempunyai prinsip orientasi non
profit tapi menganut sistem pengelolaan keuangan transparan. Sedangkan
setiap kebijakan yang dibuat melahirkan sebuah tarif yang dikenakan atas
perlakuan pelayanan kepada pelanggannya. Artinya dalam racangan peraturan setiap
tarif dibuat pasti ada pertimbangan antara bahan baku dan keuntungan yang akan
diraih atau pencapaian target-target tahunan sama halnya perusahaan yang
berorientasi keuntungan. Kembali lagi mengacu kepada profil instansi bahwasanya
merupakan lembaga non profit tapi
masih ada takaran dalam bentuk tarif dan target mengenai pencapaian pendapatan,
semakin mblunder saja pengertian yang
kontra produktif antara tujuan awal hingga akhir pencapaian.
Transparan tidak sama dengan terbuka
maka tetap ada batasan yang mengikat antara sesuatu yang bisa ditampilkan atau
disembunyikan. Sedangkan prinsip terbuka mencakup keadaan ramah antara pemegang
wewenang kepada bagian-bagian dibawahnya bukan mengedepankan ambisi melihat
sebuah koreksi. Mengkondisikan agar kebijakan yang dibuat tidak berakibat ketimpangan
dan miss orientasi. Mengkaji lebih dalam terhadap program antara urgensi dan
kepentingan besar yang sangat berdominan mengedapankan proses persetujuan atas
beberapa kelompok yang berkuasa.
No comments:
Post a Comment