Kegiatan rutin
Majis Masyarakat Maiyah Suluk Pesisiran edisi 12 Febuari 2017 bertempat di
Pendopo Kecamatan Kedungwuni Pekalongan. Acara dihadiri oleh penggiat-penggiat
dari Maiyah Suluk Pesisiran, Bhaurekso Kendal dan juga sedulur Maiyah Pemalang.
Satu per satu rangkaian acara dimulai dengan mengambil judul Janji Fir’aun yang
dikemas penuh kebersamaan dengan diiringi band pembuka sholawat Lintang Kerti
dari Kecamatan Wonopringgo Kabupaten Pekalongan.
Cak Su’ud sebagai
moderator acara sedikit mengulik mengenai sejarah Fir’aun yang merupakan bapak
angkat Nabi Musa.
“Sebenarnya
janji Fir’aun itu seperti apa, dan bagaimana cara menyikapinya?”, begitulah
cara Cak Su’ud menggiring jamaah yang mulai antusias mengikuti acara maiyahan.
Sedikit review
sejarah Cak Su’ud bercerita disaat Nabi Musa dikejar-kejar oleh pasukan Fir’aun
saat itu pula Nabi Musa yang dikenal mempunyai sebilah tongkat kemudian atas
perintah oleh Allah SWT beliau memukulkannya ke dalam laut. Saat umatnya merasa
kebingungan terhadap yang mereka lihat tentang keajaiban tersebut, Nabi Musa
pun menjelaskan bahwa semuanya itu atas perintah dan izin Allah SWT.
Memasuki sesi
acara maiyahan Cak Mufid menjelaskan adanya keterkaitan, “Ada hubungan antara
kejadian Fir’aun dan Nabi Musa yang mempunyai dialektika antara tongkat, laut,
lari dan tenggelam” , ujar Cak Mufid mengungkapkan prolog narasinya.
Menurut Cak
Mufid kesemuanya unsur-unsur tersebut terstruktur dan bisa diperinci menjadi
urutan sebagai percontohan tokoh manusia yang berada di puncak keburukan.
Penggunaan istilah puncak berarti diantara keburukan manusia merupakan titik
tertinggi kesalahan yang menganggap dirinya Fir’aun mempunyai kesetaraan kekuasaan
sebagai Tuhan.
Cak Mufid juga
mengajak kepada jamaah maiyah untuk berfikir mengenai proses peristiwa
tenggelamnya fir’aun “Laut terbelah itu proses tanahnya digeser oleh Tuhan atau
angin yang membelah lautan?”, tanya Cak mufid kepada seluruh jamaah maiyah.
Jamaah ada
yang menjawab, “Tenggelamnya Fir’aun karena angin yang membelah lautan”, ucap
salah satu jamaah yang hadir maiyahan.
Dalam
penjelasannya Cak Mufid menegaskan, “Apabila jawabannya misalnya angin maka
Tuhan mendatangkan angin yang mengkondisikan air laut bertahan sehingga bagian
dasarnya bisa dilewati Nabi Musa AS beserta umatnya”, papar Cak Mufid.
Bersamaan
dengan itu Cak Mufid berpesan agar semua kejadian tersebut terjadi sebagai
pemberlajararan perwujudan cara Tuhan
agar manusia mengambil ilmu pengetahuan yang bisa berguna dalam berbagai
sendi kehidupan.
Mengenai
keterkaitannya lebih dalam tentang judul pembahasan Janji Fir’aun, Gus Eko
menerangkan janji manusia dengan Tuhannya dalam spektrum jauh sebelum manusia
berbentuk jasad.
“Sebelum
manusia dijasmanikan (diadakan) itu sudah mempunyai kesaksian (janji) yaitu alatsu birobbikum qaalu balaa”,
papar Gus Eko.
Pengakuan
bahwa dirinya kelak adalah hamba Tuhan yang akan berupaya patuh atas
perintah-Nya. Ketika Nabi Musa AS dihadapkan dengan ayah angkatnya yaitu
Fir’aun, maka ada keinginan terbesit baginya untuk kembali kepada janji atau
ikrarnya kepada Tuhan dalam bentuk pengakuan. Akan tetapi keadaan tersebut
berbalik mengingkari atas janjinya mengenai konsep dasar keesaan Tuhan. Dari
sinilah terdapat sesuatu yang penting dipelajari tentang janji Fir’aun, karena
tidak hanya sebatas sejarah yang tertulis dalam Al Qur’an melainkan keterikatan keadaan zaman yang
mengikuti Al Qur’an hingga sekarang.
Selain
itu Gus Eko juga menerangkan makna Fir’aun, “Mengenai Fir’aun berasal dari kata
fir’aunillah yang berarti orang-orang
yang lari dari pertolongan Allah SWT”, terang Gus Eko.
Setiap
diri manusia berpotensi akan lari dari pertolongan Allah SWT dalam keadaaan
apapun. Maka usaha manusia tetap berada dalam koridor sebagaimana jalan yang telah
ditentukan, maka manusia harus berhenti sejenak. Kemudian menuju titik kesadaran
awal yang melekat pada janji atau ikrar manusia terhadap Allah SWT. Sedangkan
percontohan terhadap janji fir’aun adalah sebagaimana janji manusia yang lari
terhadap pertolongan Allah SWT.
Disela-sela
jalannya acara maiyahan penampilan band sholawat Lintang Kerti turut menghibur
jamaah maiyah yang membawakan sederet judul lagu diantaranya GIE dan Yaa Lal Wathan yang diusungnya. Tak lupa
dari pembina band sholawat yaitu Mas Yanto menceritakan sedikit sejarah band
sholawat Lintang Kerti yang awal pertama kali merintis dari acara milad GP
Anshor di Wonopringgo, harapan beliau “Dengan adanya kegiatan Maiyah Suluk
Pesisiran, band sholawat Lintang Kerti bisa menjadi pengisi dalam setiap
acaranya”,ujar beliau pada ditengah-tengah acara maiyahan tersebut.
Menjawab
pertanyaan dari jamaah, “Bagaimana menyikapi sistem pemerintahan yang memang
benar-benar dipaksakan apabila terjadi ketimpangan?”. Selanjutnya Cak Mufid
menjawab, “Peganglah prinsip hidup selama yang kita yakini masih benar maka
bertahanlah terhadap pendirian tersebut dan berusaha melihat kanan ke kiri
terhadap perubahan”.
Mengenai
sistem pemerintahan yang sudah berjala kita
hanya bisa bertahan karena dari sudah sedari dulu banyak ditemukan kerancuan
tetang hakikat pemilihan pemimpin secara langsung. Lagi-lagi rakyat hanya
dipilihkan kandidat dari beberapa perwakilan yang sudah lama mengakar dan
berjalan. Maka ikuti saja alur yang ada namun bentuklah karakter pribadi generasi
muda agar lebih baik.
Ada pula yang
memberikan tanggapan mengenai judul maiyahan kali ini, “Mengenai Fir’aun dalam
Al Qur’an yang sudah menjadi percontohan manusia yang berusaha mensejajarkan
kemampuan kepada Tuhannya”, tegas salah satu sedulur Maiyah Pemalang.
Menurutnya, hal
ini berarti melebihi ingkarnya iblis yang masih dalam tidak mau bersujud kepada
Nabi Adam, iblis pun tidak berani menyamakan dirinya kepada Tuhan. Tentang
janji Fir’aun sebagaimana janjinya membangun peradaban pemerintahan dengan
penuh kesombongan di Kota Mesir kala itu. Baginya ada rasa kecemasan terhadap
fenomena pemimpin jaman sekarang yang mempunyai sifat yang sama dengan Fir’aun,
semoga itu tidak terjadi di negera kita.
Memuncaki
acara maiyahan Gus Eko menerangkan sesuatu yang sedang didiskusikan tidak hanya
bentuk jasmani ingkarnya Fir’aun melainkan tentang diri manusia yang sudah
berikrar kepada Tuhannya namun secara langsung berusaha menutup-nutupi ikrar
tersebut. Menurut Gus Eko, "Makna dari kata Fir’aun dari Fir’aunillah yang artinya lari dari
pertolongan Allah SWT.
Gus Eko juga
menjelaskan tentang pencarian nilai manusia mengenai kepahaman masing-masing
manusia tentang jalan menuju Tuhannya yang berakhir pada proses yang sama yaitu
mujur (terlentang artinya kematian).
Selain itu juga Cak Mufid memberikan penjelasan megenai prinsip kedekatan Tuhan
dengan hambanya, bahwasanya Rahmat Tuhan berada didepan murkanya artinya
apabila manusia berusa melangkahkan kakinya 2 meter menuju jalan kebaikan maka
Tuhan akan lebih dekat 1 meter kepada hambanya. Konsep tersebut membuka cara
berfikir manusia tentang hubungan kedekatan yang harus diusahakan setiap diri
manusia.
Diakhir acara
maiyahan dipungkasi dengan bersama-sama merenung melantunkan syair duh gusti, sholawatan dilanjutkan dengan
berdoa bersama yang dipimpin langsung oleh Gus Eko. Kembali lagi Gus Eko
mengingatkan untuk mengambil nilai kebaikan dari pertemuan yang sudah berjalan.
Seluruh rangkaian acara dilalui bersama dalam keadaan khidmat, ceria serta
kebersamaan yang terlukis dalam setiap jamaah yang hadir didalamnya.
Sumber : Foto Koleksi Abdullah Amin MSP
No comments:
Post a Comment