Pagi hari Ahad 19 Febuari 2017 Om Budi
nyamperin dan ngajak gowes. Cuaca lumayan cerah dari pagi-pagi biasanya. Dari
bulan Januari hingga Febuari alhamdulillah Allah SWT selalu memberikan Rahmat
dari langit berupa air begitu syukurnya pemandangan pagi ini .
Sepeda Specialized merah putih milik
Om Budi sudah berada di depan rumah. “Om yukk...berangkat”, ajak Om Budi saat
itu mengenakan jersey biru berkantong belakang.
Ritme kayuhan sepeda agak aku
tingkatkan kecepatannya, menuju kawasan pantura terasa sangat tidak nyaman.
Kendaraan besar terus menjejali jalanan, saling menyalip memaksa pengguna jalan
seperti kendaraan bermotor, becak dan sepeda terus menepi hingga kehabisan
ruang aman berkendara.
.
Kepulan asap solar terus menderu,
menghempas tak terhindarkan. Kaos jersey bagian depan aku tarik ke atas
kemudian aku tutupkan ke hidung sebagai cara yang menurutku paling bisa aku
lakukan. Kalau pakai masker nafas pun terengah-engah tak beraturan.
“Kok tumben banget ya, truknya banyak?”, tanya Om Budi agak panik disaat truk besar saling salip ingin berada dibagian depan.
Meninggalkan kota kemudian menuju desa
rumah tinggalnya Om Royan yaitu Pegandon yang letaknya kurang lebih 4 Km dari
kota. Cukup menunggu gang keluar desa, saat setelah itu Om Royan datang
menghampiri bersama dengan sepeda GIANT biru kesayangannya.
Kayuhan Om Royan semakin mendekat ke
arahku kemudia berkata, “Sudah lama ya nunggu?”, Om Royan
bersalaman dengan Om Budi, aku tetap memilih memacu kayuhan agar bisa bertemu
dengan Om Amru yang berada sudah standby menghadang
di depan jalan kurang lebih 1,5 Km.
Sekitar 15 menit
perjalanan full speed sampai di depan
SMP Karangdadap posisi Om Amru masih duduk-duduk santai menunggu rombongan kita
datang.
“Om Amru...sori baru
datang”, sepeda cozmic ku kemudian aku parkir diantara pinggir gang.
“Oya gak papa mas tenang aja, ini saja
sekalian istirahat”, jawab Om Amru duduk posisi kaki lurus seperti goweser
dalam keadaan lelah sekali.
Aku memilih meregangkan
kaki yang mulai tegang melihat di keliling toko-toko belum buka, namun
rutinitas masyarakat sudah menunjukkan kegiatannya. Suasana pasar Karangdadap malah
telah ramai banyak orang melakukan kegiatan transaksi jual beli komoditas pasar
tradisional.
Heart
rate terasa masih berdegup kencang, ngos-ngosan tak terelakan tidak ada cara
lain untuk mengkambinghitamkan latihan gowes yang telah lama tidak dilakukan.
“Jarang gowes langsung dihajar full speed,
istirahat dulu akh...sebentar ya Om Amru”, usulku kepada Om Amru kemudian
beliau langsung mengiyakan usulanku.
Waktu 5 menit telah
berlalu, keringat Om Budi paling banyak bercucuran turun dari dahi hingga leher
terasa sekali pembakaran lemak-lemak tubuh telah sempurna.
“Om ayo...berangkat
lagi menuju Doro”, ucap Om Budi sembari mengambil sepedanya dan mulai mengayuh
kembali menuju jalan raya.
Sepanjang jalan aku
memlilih paling depan meski ini agak dipaksakan menuju Pasar Doro. Keadaan
perut sudah minta diisi makanan. Kayuhan perlahan aku turunkan menuju warung
makan di perempatan. Sungguh pagi ini Allah SWT mempertemukan kembali aku
dengan Mbah Adem penjual kue bandhos yang sudah pernah saya angkat dalam
reportase gowes pada bulan Novemer 2016. Kangen itu terasa terobati setelah
sesaat sampai depan warung malah saya lebih memilih bersalaman bareng Mbah Adem
sambil membeli kue bandhos.
“Mbah, pripun keadaane, sehat mbah?” (bagaimana
keadaannya, sehat kek?), glove aku
lepas tangan kanan aku sodorkan menarik tangannya Mbah Adem sambil bersalaman.
“Alhamdulillah waras,
dik”, jawab Mbah Adem kemudian tersenyum khasnya.
“Bandhos tiga ribu,
Mbah”, pesanku agar Mbah Adem memilihkan diantara menunggu hasil adonan yang
masih dimasak di loyang pencetakan.
“Ohh iyaa...kok dewekan dik?” (Kok sendirian dek) tanya
Mbah Adem tersenyum sesekali mengambil adonan kelapa terigu encer dari ember
berwana hijau.
“Niki kaleh rencang enten ten wingking Mbah”, (Ini bareng temen
dibelakang kek), jawab saya sambil menunggu kue bandhos itu matang.
Dalam waktu beberapa
detik rombongan lainnya pun datang bersama itu pula kue bandhos pun akhirnya
jadi.
“Ini Om Royan kue
bandhosnya”, bingkisan berbentuk kota aku buka berisi 6 pasang kue bandos siap
makan.
“Enak tho Om?”,
tanyaku kepada Om Royan, menikmati panasnya kue bandhos yang dimakannya.
“Enak om, ini
simbahnya difoto mas!”, perintah Om Royan kepadaku.
“Udah aku buatkan
reportase kok Om Roy”, jawabku sambil memegang handphone android.
Dari situlah Om Royan
merasa penasaran mengenai sosok Mbah Adem yang penuh inspirasi. Berbagai
pertanyaan yang dikontarkan kepada Mbah Adem termasuk mengenai eksistensinya
sebagai pedagang kue bandhos hingga sekarang.
Keadaan warung mulai
lengang, Om Budi tancap gas memesan seporsi nasi pecel begitupun Om Royan dan
Om Amru. Meski aku telah merasakan lapar yang sangat luar biasa, pertemuanku
dengan Mbah Adem membuat rasa lapar itu lebih tidak begitu terasa.
Lalu Om Amru keluar
dari warung lalu berkata, “Om, ayo sarapan”, langsung turun agar tempat duduk
yang berada di dalam warung bisa bergantian. Akupun mengiyakan ajakan dari Om
Amru, satu porsi nasi pecel sebagai menu sarapan kali ini.
Perut sudah terisi
hampir penuh setelah sayur pecel habis beserta nasi putih diakhiri dengan teh
panas sebagai penutupnya. Terasa nyaman sekali perut ini, ternyata tidak hanya
aku yang merasakan nikmat kenyang,
“Wah...kenyang banget
porsinya”, ucap Om Amru disaat membawa sepeda beranjak meninggalkan warung.
Memang benar mungkin karena sayur kaya akan serat jadi terasa penuh mengisi
perut. Sampai akhirnya kita melanjutkan perjalanan.
“Kemana lagi nih Om
Roy?”, tanyaku sambil membawa sepeda meninggalkan warung sementara Mas Royan
sudah berada di depan rombongan hingga ke arah barat depan pasar.
“Kita langsung cari
duren ke arah Lemah Abang”, jawab Om Royan mempercepat kayuhan. Kawasan Lemah
Abang adalah daerah banyak sekali pedagang durian di Kecamatan Doro. Biasanya
ada pedagang disini membelinya langsung dari petani durian. Kualitasnya dijamin
durian lokal bukan durian kiriman dari daerah lain.
“Biasanya Om Budi
lebih tahu mas, rumah bapak penjual durian di Lemah Abang”, begitulah ungkap Om
Royan ketika melalui tugu selamat datang di Desa Lemah Abang.
Pedaling
pilihan
utama melewati tanjakan yang cukup tinggi, degupan jantung atau irama heart rate semakin naik. Om Budi dan Om
Amru dibelakang Om Royan, sedangkan aku masih terus mengawal didepan. Lalu pada
tanjankan terakhir Om Royan menyalip. Memang sudah expert Om Royan di trek
tanjakan.
“Oh...ampun bos tanjakannya!”, keringat terus mengucur membasahi jersey sahutku kepada Om Royan.
Akhirnya telah
sampailah dirumah pedagang durian yang tidak sempat menanyakan namanya. Om Budi
menghampiri rumah pedagang itu, namun apa daya bapak pedagang yang dimaksud
tidak ada dirumah perjalanan pulanglah kemudian yang kita pilih.
Tidak seperti
berangkat perjalanan pulang kecepatan turunan lebih dahsyat kencangnya. Kita
tidak bisa mengukur karena disepeda tidak terpasang alat pengukur kecepatan. Handling dan breaking yang bisa kita lakukan agar tetap aman selama perjalanan. Tujuan
pulang ke rumah masing-masing menjadi esensi perjalanan pulang sementara siang
harinya harus tetap bekerja hingga malam.
Nama kuenya unik. Jadi penasaran seperti apa ya rasanya? Hehe
ReplyDeletekue bandhos mas..enak tenan..rasanya..wkwkwk
ReplyDelete