Pagi ini hutan di kawasan pesisir pantura tidak seperti biasanya. Kijang
yang biasa langsung berkelana mencari rumput hanya berdiri tanpa menghiraukan
hari ini mau makan apa. Lalu perut dibiarkan rasa lapar melanda, “Tumben bener
ini hutan kok semakin ramai tapi saling bercerita sendiri-sendiri?”, tanya
kijang kepada kancil yang mengerti saat kijang asyik melakoni “laku” atas
laparnya menghauskan hingar bingar keserakahan hewan herbivora dan karnivora.
“Ah, itu hanya perasaan kamu aja, jang”, jawab kancil memakan rumput
disebelah tebing tempat pengembala beristirahat.
Kijang meninggalkan kancil melihat kerbau berada pohon beringin diatasnya
masih sibuk mengunyah rumput, ada sekerumunan tupai sedang bermain kelapa
kering yang jatuh satu minggu yang lalu. Atas inisiatif sendiri kijang berjalan
menemui tupai di pinggir pohon pinus sekitar 1 Kilometer dari tempat kijang
baerada. Tidak ada teman bercerita atas kegundahan rasa hari ini, lalu pilihan
itu terbaik baginya menuju ke tepian pohon pinus mencari teman berceloteh menghabiskan
hari menjelang siang.
Langkah kijang akan tampak sebentar lagi tupai akan didatangi oleh kijang,
saat itu anak tupai berkata kepada ibunya, ”Itu dari arah timur kok
kijang ke arah kita?”, kaki anak tupai menunjuk langkah kaki kijang.
Sedang bapak tupai tidak menanggapi pertanyaan itu karena sedang bersama
anak paling bungsu bermain 10 meter dengan anak-anak lainnya.
Ibu tupai serasa penasaran atas kabar yang mengejutkan dari salah satu
anaknya. Dari semak-semak kemudian dia membuka agar pandangannya lebih leluasa
terlihat. Salah satu kaki kirinya tidak terlalu lama menahan berat tanaman
alang-alang, “Aduh ini terlalu berat, coba panggilkan bapak biar kesini mumpung
kijang masih jauh datangnya”, timpal ibu tupai dengan wajah kecut.
Mendengar gusar anak-anak yang meninggalkan semua permainan, tanpa
dipanggil bapak tupai datang menghampiri lalu berkata, “Ada apa apa ini kok
pada kumpul di semak-semak?”, tanya bapak tupai penuh penasaran.
“Ah pak, tau nggak itu di depan ada kijang sepertinya akan
menuju kesini, mungkin dari kejauhan tadi melihat kita sedang asyik bermain
terus mau nyamperin kita”, ucap anak tupai berlaga agak mengadu kepada sang
bapak.
Bapak tupai mendekat ke arah Ibu mencoba menggantikan posisinya mengintai
dibalik semak-semak. Lalu ibu tupai berusaha mundur seraya ia tahu bahwa bapak
tupai ingin sekali melihat kijang yang katanya akan mendekat.
Daun panjang terlibas suara derap kaki kijang semakin kencang.
“Oh iya benar, kijang akan kemari tuh...langkangnya lurus menuju ke arah
kita”, ungkap bapak tupai matanya masih lurus memandang ke depan.
“Tapi biarkan ia kesini anak-anakku kalian tetap tenang biar bapak yang
akan menghadapi semuanya”, pinta bapak tupai menenangkan kondisi keluarganya.
“Kreeeshh....kreesssh....”, bunyi kaki kijang menginjak dedaunan kering
“Hai tupai, aku melihat kalian tadi bermain di sini, kalian sekarang
dimana?”, kijang tergopoh-gopoh datang dibarengi nafas tersengal-sengal agaknya
terlalu capek karena perjalanan.
Anak-anak tupai terdiam lalu bapak tupai mencoba berkata, “Ada apa kijang kau
datang kemari?”, tanya bapak tupai dengan gagah namun mereka masih berada
dibalik semak-semak.
Kepala kijang menoleh dibalik semak-semak itu, lalu dia masih berdiri
sembari kelelahan. “Aku tidak akan memusuhi kalian, aku hanya ingin bertanya
dengan kalian”, jawab harimau dengan sedikit menjelaskan maksud tujuannya.
Mendengar jawaban tersebut lalu tupai mengerti, langkah kakinya turut
memberanikan diri menemui kijang tapi anak-anaknya masih bersembunyi di balik
semak-semak.
Keduanya bertemu dalam diskusi singkat menjelang sinar matahari
menyingsing. Kijang terdiam sejenak sementara nafasnya mulai membaik kemudian
berkata, “Tupai kedatanganku akan memberikan kabar bahwa di hutan sebalah
tebing sana ada kabar bahwa hari ini harimau akan mengundurkan diri sebagai
penguasa hutan”, kijang berhadapan empat mata bersama tupai.
“Oh begitu jang, lantas ada hubungannya dengan keberadaan kita jang?”,
tanya tupai kepada kijang penuh makna.
Lalu kijang menoleh sekitar pohon pinus yang tinggi kemudian ia baru merasakan
keadaan rindang hatinya membenarkan jika para tupai sangat nyaman bermain
disini.
“Jika ada hubungan secara langsung kamu mungkin bisa ngeles,
harimau yang kita tahu kan dia sebagai penguasa hutan tempat kita singgah ini,
jadi kalau mendengar dia akan lengser paling tidak kita mau mendengar pesan
terakhirnya kepada seluruh penghuni hutan”, obrolan kijang semakin serius
kepada tupai.
“Oh..oh..oh..saya tahu!”, kepala tupai menengadah ke atas berlagak mikir sambil modar-mandir di hadapan
kijang.
“Jaaa.....aaaadiii.....kedatanganmu kemari mau ngingetin saya buat datang diacara pelepasan raja hutan sang
harimau?”, tanya tupai dengan berbagai asumsi namun hanya itu yang bisa
ditangkap secara sederhana.
“Begitulah kiranya, Pai! sepertinya
besok akan terjadi harimau akan menyerahkan seluruh taring dan cakar kakinya”,
jawab kijang terasa lega maksud kedatangannya telah dipahamai oleh tupai.
“Baik...kalau itu maumu besok saya
akan datang ke hutang sebelah tebing ini hanya sebagaimana penghormatan
kepadamu, jang! bukan murni dari undangannya harimau”, tupai menyetujui atas
tawaran dari kijang.
Seiring
pembicaraan berjalan keduanya berpisah pulang meninggalkan tepian hutan pinus. Kijang
berlari menuju ke selatan
***
Pagi menjelang ketika burung telah
berkicau menyambut semangat ceria, ayam berkokok berkerumun berjalan bersama
menuju hamparan tanah lapang. Kera-kera bergelantungan dari pohon satu ke pohon
yang lain namun semakin turun menuju dasar tanah, rumput yang masih menghijau
karena semalam hujan telah mengguyur membawa kesejukan suasana.
Menunggu adalah hal dilakukan mereka
disaat semua kabar santer terdengar bahwa hari ini sang harimau akan berbicara
terakhir kepada seluruh penghuni hutan. Ternyata tidak begitu lama kehadiran
harimau akhirnya datang juga. Dug...dug...dug...dari balik timur langkah kaki
harimau terdengar dari atas bukit tingginya 5 meter suara itu semakin kentara. Sedang
dibawahnya bukit merupakan tempat seluruh penghuni hutan berkumpul menunggu
kehadirannya.
Tupai telah beranjak dari peraduan
sedang berjalan menuju lapangan bersama 5 anaknya mereka sengaja datang agak
telat karena anak yang terakhir sangat sulit dibangunkan. Selah beberapa menit
kedatangannya maka harimau memberikan sambutan perkataan diatas bukit dan disaksikan
seluruh penghuni hutan.
“Terima kasih saudaraku, pagi ini
kalian telah berkumpul berhadapan denganku”, ucap harimau menyambut kehadiran
mereka.
Suasana masih hening mendengarkan
baginda harimau yang tidak seperti biasanya pucat tak beraturan seperti ada masalah
yang disembunyikan kepada khalayak umum. Mereka para penghuni hanya bisa
menebak secara saksama sesuatu yang dipikirnya.
“Kalian tahu mengapa pagi ini seluruh
penghuni hutan saya kumpulkan?”, tanya harimau.
Tidak ada yang menjawab meski kijang
yang berada dibawah harimau berdiri mengerti alasan tersebut.
“Atas junjungan kejantanan saya sebagai
raja hutan mulai hari ini saya tidak lagi menjabat sebagai raja hutan karena kulit
loreng saya tak sekencang dulu lagi sedang kemampuan lari saya telah berkurang
tidak gesit ataupun lincah hingga bisa berpindah kesana kemari. Taringku telah
tumpul karena tiap hari saya mencincang daging hingga lembut enak dimakan,
cakar yang sering untuk mencabik-cabik mangsa yang bandel telah enggan keluar
dari telapak kaki, meski saya coba asah setiap hari, namum syaraf kaki berkata
lain ia telah lambat merespon perintah dari pikiran. Hingga kini saya tidak
berdaya lagi. Ini memang harus saya sadari harimau itu akan hilang menurut
seleksi alam karena kemuliaanku ada disini yaitu kekuasaan. Tidak berarti
kalian bisa survive kapan saja dan
dimana saja. Kalian itu tidak rendah, namun sering merendah tapi itu itu adalah
kemulian kalian. Tidak jumawa karena taring, tidak terlihat sangar karena cakar
dan eksistensi kalian akan bertahan karena mampu mengatasi kesulitan dengan
sendirinya tanpa tuntutan gaya hidup atas kekuasaan”, papar harimau kepada
penghuni hutan.
Penghuni hutan terdiam menyaksikan harimau
belok kanan secara perlahan kemudian berkata, “Selamat tinggal...maafkan saya
atas segala kekhilafan”, kemudian harimau tersenyum lalu merunduk seakan menyembunyikan
atas kesedihan yang amat mendalam.
Tidak ada yang memberikan komentar atas kepergiannya hanya rasa belas kasihan kepada harimau. Mereka menyadari harimau akan terseleksi
alam atas jumlahnya sedikit dan tergantikan harimau-harimau yang lebih muda.
Tidak ada yang paling lebih dari tugas seluruh hewan karena diantara paling menyenangkan
adalah mereka yang menikmati tugasnya sesuai yang diperintah dari sang raja
diraja penguasa alam semesta.
Sumber: wwf.com