Tuesday, 5 July 2016

Kupat Etika Agama, Budaya dan Kesenian


Makanan yang bernama kupat sering ditemui bertepatan perayaan Hari Raya Idul Fitri. Adanya makanan khas lebaran berbentuk segi empat anyaman janur (daun muda pohon kelapa) yang berisikan beras kemudian ditanak dan disajikan dengan sayur santan ataupun opor ayam. Namun simbol tersebut tidak dapat diartikan hanya sebatas kebiasaan menu untuk lebaran saja. Tradisi turun temurun dari nenek moyang sejarah berupa sajian makanan tidak lepas dari esensi akhir untuk peradapan manusia baik untuk sekarang maupun kehidupan di kemudian hari. 

Pendekatan orang tua zaman terdahulu kebanyakan tidak secara langsung memberikan ajaran kebaikan secara verbal. Karakteristik lemah lembut kepada masyarakat yang pada umumnya masih awam, maka beliau (para orang tua) atau bisa disebut para Wali memberikan ajaran islam melalui metode keseharian masyarakat yang selalu mereka senangi. Semisal tradisi membuat makanan dan memberikan pemaknaan halus untuk mengajarkan nilai-nilai islam.

Para Wali memberikan nama yang mudah disebut dan dipahami. Tujuannya agar disaat masyarakat berada dalam kegiatan tersebut maka bisa langsung meresapi ajaran islam kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemberian nama kupat yang bisa diartikan  ngaku lepat, secara nama tidak ada hubungannya dari bahan-bahan yang terkandung dalam makanan tersebut. Secara tujuan bahwa para Wali mengajak masyarakat untuk melakukan evaluasi diri dengan mengakui kesalahan yang telah mereka perbuat. Pengakuan menjadikan sifat rendah hati kepada orang lain karena mengakui bahwa manusia tempat mempunyai kesalahan dan bersegera untuk memohon maaf kepada sesamanya. 

Secara kebiasaan kupat  disajikan disaat Hari Raya Idul Fitri atau lebaran artinya setelah orang islam melalui puasa Ramadhan disempurnakan dengan mengeluarkan zakat fitrah (pensucian diri) selanjutnya dilanjutkan dengan evaluasi kesalahan yang telah diperbuat kepada sesamanya yang disebut tradisi Halal bi Halal (saling memaafkan atau menghalalkan semua kesalahan). Penyajian kupat dibarengi dengan tradisi Halal bi Halal yang mempunyai makna bahwa setiap manusia pada hari tersebut mengakui semua kesalahan yang telah mereka perbuat. 

Penyajian kupat juga sering disertakan sayur yang tebuat dari santan. Secara keselarasan kupat ini sangat pas apabila disajikan  dengan sayur yang pada umumnya bersantan. Santan dalam bahasa jawa sering disebut dengan santen atau secara filosofi ngapunten yang berati minta maaf. Pemberian nama santen sangat masuk akal apabila dihubungkan dengan filosofi saling memaafkan. 

Tradisi kupat merupakan pemaknaan agama, budaya dan kesenian peradaban masyarakat yang turun temurun hingga sekarang masih dilestarikan sebagai puncak kesadaran manusia sebagai makhluk yang mempunyai banyak kesalahan dan lahir kembali sebagai manusia yang suci melanjutkan kehidupannya. Pemaknaan agama berarti kupat sangat identik dengan Hari Raya Idul Fitri merupakan hari raya umat islam seluruh dunia. Makna secara budaya bahwa kupat sudah secara kebiasaan masyarakat di suatu tempat secara turun temurun. Secara kesenian atau aspek seni bahwa bentuk kupat berupa anyaman janur yang begitu indahnya yang merupakan ekspresi estetika buah karya manusia. Penyajian tersebut dapat disimpulkan bahwa agama tidak terlepas dari unsur kebudayaan dan kesenian disuatu tempat asalkan tidak melanggar syariat islam itu sangat dianjurkan. 



FOTO : SUMBER GOOGLE

No comments:

Post a Comment