Sunday 21 April 2019

Sampah Foto Kopi


Ada banyak tulisan dari jasa penggandaan dokumen atau foto kopi. Dalam buku paket mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP saya dulu ada beberapa bagian yang mengulas jenis penulisan. Di antaranya adalah photo copy, foto copy dan foto kopi maka tatanan sesuai EYD yaitu dengan penulisan foto kopi. Namun, ragam tulisan dipakai sehari-hari bebas semua tulisan dipakai. Asalkan calon pengguna jasanya mengerti tanda bahwa kios tersebut bisa melayani foto kopi dan segala tambahan beberapa penyedia alat-alat tulis lainnya.

Saya belum pernah melihat imaji kratifnya pengusaha foto kopi yang sedikit "mbanyol" dengan memberikan simbol kamera dan kopi. Bahwa ada dua klausa kegiatan memfoto dan kopi. Bisa pula ini sebagai nilai plus dengan fasilitas ngopi sembari menunggu proses foto kopi berjalan. Mungkin karena foto kopi ini jasa yang berbau sedikit formal. Jadi tulisannya tidak sesantai di warung kopi atau warung yang hanya ada lampu 5 Watt yang justru terlihat agak remang-remang.

Sekitaran kampus usaha foto kopian menjamur. Bisa dipastikan dimana ada gula pasti ada semut. Tapi sebenarnya bukan gulanya yang disukai semut melainkan rasa manisnya. Begitu pula para pengusaha foto kopi tidak terpancang pada kampusnya melainkan interaksi simbiosis mutualisme antara para civitas warga kampus dengan penyedia jasa foto kopian. Pemandangan lain di Kantor SAMSAT yang para pengusaha foto kopian ini sudah hapal mengenai jumlah lembaran BPKB yang akan difoto kopi berikut persyaratan lainnya.

Ada beberapa simbol kreatifitas para penyedia jasa foto kopian. Beberapa kertas hasil foto kopi yang masuk dalam kategori "reject" tidak terpakai yang sengaja dikumpulkan. Hingga mencapai ketebalan tertentu mereka memanfaatkan sisi kertas yang kosong dibuat sebagai nota pembelian. Selain itu bungkus dari kertas foto kopian ada yang berinisiatif dijadikan tas tenteng yang unik cukup buat wadah pengguna jasa foto kopian mereka. Saya kira para pelanggan lain juga merasa senang atas pelayanan dengan memberikan fasilitas tas yang cukup sederhana penuh kreatifitas.

Andaikan mereka tidak berpikir lebih kreatif maka sampah kertasnya bisa merepotkan orang banyak. Pertama merepotkan dirinya sendiri dengan membuangnya ke tempat sampah. Tidak hanya sampai disitu. Sampah kertas tersebut harus menunggu lama dijemput para petugas kebersihan. Dari tempat sampah harus membopong ke truk bak sampah. Kemudian harus di antar ke tempat pembuangan sementara hingga ke tempat pembuangan akhir. Betapa repot dan memakan waktu yang lama.

Pola-pola kreatifitas demikian sejatinya sudah diterapkan dalam pendidikan Sekolah Dasar. Dari dulu ada mata pelajaran muatan lokal yang di dalamnya ada unsur kerajinan tangan dan kesenian. Hendaknya setiap orang yang telah mengenyam pendidikan setelahnya bisa merepresentasikan kemampuan itu. Agar masalah sampah sepenuhnya, tidak hanya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Melainkan diri kita sebagai manusia turut bisa memperhatikan lingkungan sekitarnya.


No comments:

Post a Comment