Saturday 23 December 2017

Bank

Tentang bank, saya tidak akan membahas sesuatu yang berhubungan bunga bank atau bagi hasil, sebagai momentum akibat dari transaksi keuangan. Kebolehan atau tidak mengenai hal itu, sangat elok saya serahkan kepada Anda, subyek cara pandang serta resolusi pemikiran terhadap akibat dari sistem tersebut. Tidak ada niatan pula, saya berusaha memberikan konotasi negatif terhadap bank karena semua orang bisa mengetahui bahkan merasakannya dari berbagai macam kebijakannya.

Membayar angsuran pinjaman bank sebelum jatuh tempo bagi nasabah tidak ada apresiasi bentuk reward diberikan. Sedangkan membayar setelah jatuh maka akan mendapatkan denda sekian persen dari jumlah angsuran. Ini bukan rahasia publik dan masyarakat berdamai atas kebijakan tersebut.

Skor 1-0 serasa dimenangkan oleh bank ketika hutang dilunasi malah kena penalty. Membayar denda atas pelunasan hutang menjadi peraturan yang tak terelakan jika dirasa nasabah terlalu baik hati mengembalikan sisa hutang. Kebaikan itu malah diperhitungkan sebagai laba bank yang ditangguhkan. Niatan baik mengembalikan pinjaman lebih awal malah menjadi momok bagi sebagian besar bank, sedangkan menambah saldo hutang menjadi angin syurga keberadaan bank.

Kebijakan menggunakan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) apabila diwajibkan seolah itu memaksa nasabah. Lalu yang prioritaskan adalah kemudahan transaksi tanpa melalui teller.
"Pokoknya ini sudah menjadi aturan dari kami bahwa ATM bisa memudahkan transaksi", celetuk Mbak Costumer Service yang pipinya terlihat glow karena menggunakan krim tirai matahari. 

Kata "pokoknya" sudah melegitimasi kebijakan dan bisa membuat "mlongo" nasabah yang punya darah kritis terhadap aturan. Namun, di sisi lain ada kebijakan sebagai sebab akibat dari penggunaan ATM. Di sini nasabah terjerembab aturan yang menyarankan untuk mencetak seluruh transaksi minimal tiap bulannya. Berarti nasabah harus rela antri menunggu panggilan nomor di antara nasabah lain yang mempunyai kepentingan berbeda hanya untuk mencetak sebuah buku tabungan.
"Lalu apa guna ATM jika tujuan untuk mengurangi aktifitas dengan teller, pada kenyataaannya mengharuskan tiap bulan untuk mencetak buku tabungan?"
"Mau protes?",
"Pokoknya ini sudah menjadi aturan dari kami", kata itu masih terngiang belum lama lagi.

Kejumawaan seseorang untuk anti terhadap bank juga dianggap berlebihan. Terlalu naif pula bagi seorang karyawan, pedagang, reseller, juragan, ataupun pengusaha tidak lepas dari transaksi bank. Menikmati jalan raya beraspal sebagai hasil pembangunan tidak lepas dari percikan kiprah bank sebagai perantara pembayaran proyek secara berkala. Bahkan orang desa sekalipun selalu menanti kiriman uang dari anaknya yang merantau di kota besar bahkan di negeri orang. Bank memudahkan yang jauh untuk lebih dekat sedekat hati anak dengan orang tua, pembeli dengan penjual, karyawan dengan bosnya dan simbiosis mutualisme yang telah terjadi di antara mereka.

Pada prinsipnya berkomitmen melakukan transaksi via bank, berkutat pada transaksi digital berupa angka-angka yang menjadi dasar dari sistem jaringan perbankan. Kalau si A mentransfer uang ke si B yang dikirim jumlah digital angka yang harus dipencet di papan keyboard komputer. Bukan berarti menghantarkan fisik uang ke tempat tujuan atau si penerima. Konon sistem ini paling canggih dengan bantuan satelit dan jaringan internet di angkasa yang saya dan juga mungkin Anda tidak pernah mengetahui proses pastinya.

Begitu pula seorang konglomerat mendepositokan kekayaannya bermilyar-milyar dolar maka sebenarnya bernilai dalam ketergantungan angka depan 1 sampai 9 dan angka lanjutan berpa digit dibelakangnya. Lebih dari itu, kita sangat tidak tahu bentuk fisik uang apa iya, tersimpan di sebuah brankas atau mungkin ada gudang uang yang benar-benar telah disediakan di masing-masing kantor pusat sebuah bank. Kita mentok saling pandang mempertanyakan keberadaannya. Kalau nasabah sedikit guyon kepada bank, fenomena itu bisa sedikit terkuak dan bisa mungkin itu terjadi. Dalam satu hari yang sama seluruh nasabah mengambil seluruh saldo di bank dan dilakukan serentak se-Indonesia, lalu apa yang akan terjadi sirkulasi kuangan perbankan?

Fenomena aktifitas hubungan mesra antara keuangan dan perbankan seperti tidak bisa terpisahkan lagi. Mungkin Anda masih ingat, dari semenjak kecil doktrin hemat pangkal kaya tercetak di balik sampul berwarna coklat pada buku tulis yang di atasnya terdapat gambar garuda beserta 5 butir pancasila. Bapak dan ibu guru pun memberikan pelajaran paribahasa hemat pangkal kaya, yang menjelaskan kalau kita ingin kaya maka kita harus berhemat. Pada fase selanjutnya ketika berhemat maka ada uang yang disisihkan untuk ditabung agar kelak dikemudian hari bisa menjadi sebuah investasi berupa uang. Tak jarang dari bapak dan ibu guru kita menjadi fasilitator tempat menabung sebagai umumnya cara ini relatif sebagai fungsi edukasi keuangan. Pola penanaman pikir anak bahwa bank adalah tempat menyimpan uang agar lebih lebih aman.

Namun, setelah dewasa perubahan itu seratus delapan puluh derajat. Ada kebiasaan yang sangat mahfum dirasakan bagi para mantan-mantan siswa ini jauh melesat sekitar 10 tahun belakang. Setelah mempunyai penghasilan hilir mudik tawaran berbagai macam asuransi, investasi bahkan kredit pinjaman bank terus berdatangan di ruang kerja bahkan di ruang terbuka mesin ATM yang di temani oleh rok mini SPG bank. Iklan pinjaman uang turut menelanjangi hutang di muka umum lalu membungkusnya dengaj kemudaham transaksi tersebut dengan satu alat pembayaran berupa kartu kredit.

Tuntutan moral terkadang terbesit kepada sebuah lembaga yang mempunyai fungsi mengumpulkan serta menyalurkan apabila menjamur berkembang secara pesat. Alih-alih sebagai tolok ukur kemajuan perkembangan perekonomian, banyaknya bank makin banyak pula interaksi perekonomian. Masyarakat malah dimanjakan berbagai bentuk hutang yang terus menjerat di sela-sela menikmati kekayaan yang dipercepat. 

Sangat ironi, keberadaan masyarakat kecil seperti saya yang mayoritas mempunyai uang recehan harus terus berhubungan dengan sistem yang sebenarnya belum sampai kelas melakoninya.

   Foto :google 


No comments:

Post a Comment