Saturday 23 December 2017

Asinan

Jenis makanan buah ini sering saya temui di pinggir jalan menuju Lapangan Mataram Pekalongan. Saya tertarik karena pada dasarnya saya ini dilahirkan sebagai penggemar buah-buahan. Asinan bagi saya termasuk jenis olahan buah yang baru saya kenal pada awal 2017 setelah pada tahun 2006 saya berhasil mencicipi sop buah yang mewabah di sekitaran Semarang. Bentuk asinan berasal dari buah mangga muda atau orang jawa sering menyebutnya dengan pentil atau pakel.

Buah pentil pada umunya mempunyai rasa asam, kecut dan getir. Di kawasan pesisir pantura hampir rata-rata tiap rumah terdapat jenis pohon mangga. Dari jenis harum manis, adas, golek, manalagi hingga jenis lain yang sedikit harum yaitu mangga kueni. Ada pemilik pohon mangga yang dikonsumsi sendiri ada pula yang dijual kepada pembeli. Biasnyanya pembeli datang ke rumah memborong semua hasil panen tiap musim mangga. Jarang sekali para pemilik pohon mangga menjualnya dalam keadaan rata-rata telah matang. Pada umumnya para pembeli sudah memberikan uang tanda jadi meskipun mangga tersebut masih dalam keadaan muda. Kemudian pada 2-3 bulan berikutnya barulah pembeli tersebut akan datang kembali untuk memanennya. Namun, sistem tersebut untuk kalangan tertentu tidak diperbolehkan karena lebih berpeluang rugi pada kedua belah pihak. Makanya, kunci penentuan sistem jual beli tersebut terletak pada pihak penjual yakni pemilik pohon mangga sedangkan pembeli akan mengikuti saja, mereka meladeni berbagai sistem lainnya.

Setelah mangga dipanen oleh pembeli pertama, rata-rata masih dalam keadaan random dari mangga yang masih muda hingga yang sudah matang atau masyarakat Pekalongan menyebutnya pelem. Saat itu pula mereka berbondong-bondong menuju para tengkulak buah mangga tersebut dijual kembali. Pada proses ini terjadi penyortiran dari segala macam jenis, ukuran serta keadaan mangga. Pengelompokan tiap jenis serta ukuran mangga akan lebih membedakan masing-masing harga kepada penjual buah lainnya. Kemudian pada pengelompokan keadaan mangga baik yang masih mentah maupun telah matang bertujuan untuk melakukan tindakan segera ataupun bisa dikemudian hari. Kalau dirasa sudah menjadi pelem maka akan segera dijual. Namun jika masih dalam keadaan pentil akan ada dua kemungkinan dijual atau dimatangkan paksa dengan menggunakan karbit. Dari sinilah para penjual asinan memperoleh buah mangga dalam keadaan masih muda.

Saat saya tengah melintasi pedagang asinan dalam benak saya bernarasi bahwa olahan buah pentil itu berasa asin kemudian diberi sedikit gula merah. Rasanya akan lebih enak jika diberi lombok merah agar sedkit pedas. Lalu segera saya berhenti menanyakan harga per porsi asinan, saya tidak merasa gengsi dibilang cowok perhitungan, prekk batinku.
“Mas per porsi piroan?”, tanya saya kepada mas penjual asinan.
“Limang ewu mas per bungkus”
“Oh, iyo 2 bungkus mas dudu 2 porsi”, mas nya itu sedikit ngekek.

Segera olahan pentil  berwarna kuning itu diambilnya dari etalase mirip akuarium kemudian dibungkus menggunakan plastik. Sepertinya merasa kesulitan antara panjang potongan buah lebih besar dari bungkusnya lalu tak lama kemudia bertanya lagi,
“Mas diweneihi sambel mas?”
“Apa ora otomatis tho mas?”
“Iyo yo...mas aku sing keder”.
Masnya masih fokus namun rada grogi karena hari itu pacarnya datang nemenin berdagang.

Saya terpaksa kembali tersenyum kecil bukannya asinan itu harus ada penyertanya. Masa iya saya harus makan pentil dengan mengunyah getir dan kecut sesederhana itu?
Lalu sambel itu diambilnya dari kotak sebelah samping gerobak biru berdekatan dengan garam yang telah dicampur cabe merah. Pertanyaan itu kembali terlontar,
“Mas diwenehi uyah ora mas?”
“Uyah Meduro opo uyah Pekalongan mas?”
“Sek mas tak tiliki bungkuse”.
“Iki pabrike Pati mas”

Polos bener masny. Bela-belain ngecek di balik bungkusnya.

Merasa rada lama kemudian pertanyaan terakhir menjebak saya,
“Sido wenehi uyah mas?”
“Sido mas wong uyahe wes dilebokke neng plastik ngunu kok”
“Lha... dalah...wes kebacut mas?”
“Iyo kalem baen”.

Langsung saja saya melipir meninggalakan kemesraan mereka berdua.


No comments:

Post a Comment