Thursday, 6 April 2017

Mahalnya Daun Pisang

Kali ini saya harus mendengarkan curhatan emak-emak penjual nasi megono dengan pembeli yang juga tak kalah super menggelegar suaranya. Kalau emak-emak dipertemukan dengan satu jenis kelamin yang sama bisa dibayangkan obrolannya tak kalah asyik dengan diskusinya pengacara di ILC. Bahasan mereka kali ini tentang harga daun pisang yang kata  penjualnya sudah ora pantes melambungnya.

“Jaman saiki larang kabeh,  godhong gedhang kok nganti seket ewu ngungkuli rego kertas, batine dhodholan luweh sithik kerno wungkuse larang”, kalau nggak ngerti bahasanya roaming secara singkat terjamahannya begini :
“Zaman sekarang serba mahal, daun pisang hingga 50 ribu melebihi harga kertas, laba dari penjualan lebih sedikit karena bungkus daunnya sudah mahal”, begitu kata penjual nasi megono yang memakai jilbab hijau kelihatan lebih muda sampai 20 tahunan.

Saya pun menjadi pendengar setianya emak-emak ini seperti fansnya radio RRI yang menikmati siaran langsung dari kantor pusat berita. Kok bisa nih mau beli nasi megono paket komplit beserta news jangan bilang ini hoax, bisa-bisa kena omelan emak-emak, “Kalo nggak percaya ke pasar sendiri, noh!”, pilih diem paling ajib deh...kalau lawan bicaranya mempunyai tipe seperti ini.

***
Nasi megono bungkus daun pisang seperti suami istri dalam pelukan. Wah...kok jadi ngomongin suami istri?. Sangat erat tentang persamaan saling melengkapi  antara panasnya nasi kemudian didekap oleh aroma daun pisang mentah.

It’s imejing kata orang jawa yang pengen banget niru bule-bule yang mencoba masakan Khas Indonesia.
Konon dahulu, daun pisang dianggap oleh masyarakat Pekalongan sebagai bahan paling ekonomis sebagai bungkus makanan. Paling mudah didapatkan karena kalau jualan nasi megono pagi hari, maka sore hari sebelumnya bisa kok ambil dari pekarangan rumah.

Karakteristik daun pisang juga mempunyai permukaan yang mudah dibersihkan membuat nilai tambah praktis dan mudah dibentuk model  pincuk, tum dan wungkus. Dari sinilah penjual nasi megono sangat mempertahankan tradisi bahan pembungkus nasinya terlepas  ada juga yang beralih menggunakan kertas.

Kelangkaan daun pisang yang terjadi ada beberapa faktor karena jumlahnya pohon pisang yang sudah tidak sebanyak dulu atau memang karena faktor cuaca angin yang merusak bentuk fisiknya. Dahulu anak-anak desa memanfaatkan pekarangan sebagai tempat bermain di sana banyak sekali masyarakat yang masih menanam pohon pisang. Tapi sekarang seiring berjalannya waktu ketika mereka dewasa lahan tersebut dijadikan rumah. Ruang perkebunan kecil milik perorangan pun semakin sempit.

Untuk mendapatkan daun pisang, para pedagang nasi megono harus membelinya di pasar. Sekali belanja menghabiskan uang sebesar 50 ribu rupiah untuk sekali jualan. Terlalu berharganya kini nilai daun pisang semahal itu hidup di tanah gemah ripah loh jinawi. Sedangkan kalau menggunakan kertas minyak hanya separuhnya atau 25 ribu bisa untuk dua kali jualan. Patut diapresiasi bagi penjual nasi megono yang hingga kini masih mempertahankan ciri khas sedepnya karena aroma daun pisang meski terkadang harus menghadapi berbagai keluhannya.

No comments:

Post a Comment