Kali ini saya harus mendengarkan curhatan emak-emak
penjual nasi megono dengan pembeli yang juga tak kalah super menggelegar
suaranya. Kalau emak-emak dipertemukan dengan satu jenis kelamin yang sama bisa
dibayangkan obrolannya tak kalah asyik dengan diskusinya pengacara di ILC.
Bahasan mereka kali ini tentang harga daun pisang yang kata penjualnya sudah ora pantes melambungnya.
“Jaman
saiki larang kabeh, godhong gedhang kok
nganti seket ewu ngungkuli rego kertas, batine dhodholan luweh sithik kerno
wungkuse larang”, kalau nggak ngerti bahasanya roaming secara singkat terjamahannya
begini :
“Zaman sekarang serba mahal, daun pisang hingga 50
ribu melebihi harga kertas, laba dari penjualan lebih sedikit karena bungkus
daunnya sudah mahal”, begitu kata penjual nasi megono yang memakai jilbab hijau
kelihatan lebih muda sampai 20 tahunan.
Saya pun menjadi pendengar setianya emak-emak ini
seperti fansnya radio RRI yang menikmati siaran langsung dari kantor pusat
berita. Kok bisa nih mau beli nasi megono paket komplit beserta news jangan bilang ini hoax, bisa-bisa
kena omelan emak-emak, “Kalo nggak percaya ke pasar sendiri, noh!”, pilih diem paling ajib deh...kalau lawan bicaranya mempunyai tipe seperti ini.
***
Nasi megono bungkus daun pisang seperti suami istri
dalam pelukan. Wah...kok jadi ngomongin suami istri?. Sangat erat tentang
persamaan saling melengkapi antara
panasnya nasi kemudian didekap oleh aroma daun pisang mentah.
It’s
imejing kata orang jawa yang
pengen banget niru bule-bule yang mencoba masakan Khas Indonesia.
Konon dahulu, daun pisang dianggap oleh masyarakat
Pekalongan sebagai bahan paling ekonomis sebagai bungkus makanan. Paling mudah
didapatkan karena kalau jualan nasi megono pagi hari, maka sore hari sebelumnya
bisa kok ambil dari pekarangan rumah.
Karakteristik daun pisang juga mempunyai permukaan yang
mudah dibersihkan membuat nilai tambah praktis dan mudah dibentuk model pincuk,
tum dan wungkus. Dari sinilah
penjual nasi megono sangat mempertahankan tradisi bahan pembungkus nasinya
terlepas ada juga yang beralih menggunakan kertas.
Kelangkaan daun pisang yang terjadi ada beberapa
faktor karena jumlahnya pohon pisang yang sudah tidak sebanyak dulu atau memang
karena faktor cuaca angin yang merusak bentuk fisiknya. Dahulu anak-anak desa memanfaatkan
pekarangan sebagai tempat bermain di sana banyak sekali masyarakat yang masih
menanam pohon pisang. Tapi sekarang seiring berjalannya waktu ketika mereka dewasa
lahan tersebut dijadikan rumah. Ruang perkebunan kecil milik perorangan pun
semakin sempit.
Untuk mendapatkan daun pisang, para pedagang nasi
megono harus membelinya di pasar. Sekali belanja menghabiskan uang sebesar 50
ribu rupiah untuk sekali jualan. Terlalu berharganya kini nilai daun pisang
semahal itu hidup di tanah gemah ripah loh jinawi. Sedangkan kalau menggunakan
kertas minyak hanya separuhnya atau 25 ribu bisa untuk dua kali jualan. Patut diapresiasi
bagi penjual nasi megono yang hingga kini masih mempertahankan ciri khas
sedepnya karena aroma daun pisang meski terkadang harus menghadapi berbagai keluhannya.
No comments:
Post a Comment