Monday 2 January 2017

Membangunkan Kembali Tokoh “Gak Patheken”

Tadabbur daur #100

Sudah berapa tahun kita telah akrab dengan istilah “Gak Patheken?”. Sebuah slogan yang menjadi jurus khatam diakhir kepemimpinan besar di Negara Khatulistiwa. Sangat sulit bagi mereka menjelaskan mengenai peristiwa di tahun 1998. Penjelasan sejarah mereka masih dalam koridor sudut pandang yang mereka bawakan. Batasan mengenai latar belakang, hanya berupa kejenuhan rakyat yang begitu mencapai puncaknya yang dikatakan sebagai “menata kembali” atau reformasi. Sedangkan mengenai resolusi dhalang sesungguhnya hanya orang-orang tertentu yang bisa menembus memaknai sebuah sejarah jauh lebih komprehensif, terstruktur dan bukan sejarah yang dituliskan beberapa versi apalagi mempunyai tendensi kepentingan publik.


pic: wayang google wordpress
Pola-pola gebrakan masih sama dan cara-caranya yang ditempuh sama yaitu melupakan beberapa peradaban yang telah berlalu dan menuai beberapa prestasi gemilang lalu ditenggelamkan atas jalannya sendiri. Seperti perjuangan atlit di kancah dalam maupun luar negeri yang mencapai puncaknya bertanding bahkan pujian terus berdatangan, akan keluar rumah pun selalu dikawal bagaikan artis lapangan yang paling berarti bagi negara. Perubahan drastis pun mereka rasakan disaat power syndrome atas dasar usia atau memang kemampuannya ada, sudah tidak bisa di upgrade kembali. Lalu kemampuannya dijegal berbagai cara yang seharusnya menyelamatkan kariernya malah nasibnya tergantung bagaikan medali yang sudah tidak ada bebannya. Anaknya semakin tidak meyakini bahwa mendiang bapaknya sangat pawai atas prestasinya tatkala itu semua hanya kiasan dan ucapan jempol dari tulisan-tulisan kliping surat kabar yang tertempel di tembok belakang piala. Kebanggaan anaknya tidak merefleksikan tokoh pahlawan yang mengalir dalam latihan, memancar deras disaat bertanding bahkan membeku disaat kedinginan tanpa sinar karier yang menghangatkan. Orang tua dan sejarah mempunyai ikatan emosional agar bisa memaknai sesuatu meskipun hanya sebatas penghargaan sekaligus mengilhami keadaan anaknya yang tidak serta merta tercipta begitu saja.

Kembali lagi ke masa awal reformasi yang dirasa sebagai model cara terbaru yang menghadirkan menu-menu terbaik disajikan dalam sebuah sistem pemerintahan. Demokrasi adalah menu yang ditawarkan sebagai pengejawantahan dari kelemahan sistem sebelumnya. Cara pemilihan melalui perwakilan digantikan dengan cara langsung seakan menjadi obat kedaulatan rakyat yang telah lama sakit berkepanjangan. Rakyatpun semakin senang disaat ditawarkan obat yang diyakini sangat mujarab. Disaat obat itu bekerja sistem lain pun bekerja perlahan dengan melakukan perubahan yang mendasar yaitu melolosi Undang Undang Dasar 1945 melalui 4 kali amandemen. Perlahan aset-aset negara dijual, propinsi bagian timur ada yang melepaskan diri, krisis moneter, keadaan politik semakin kacau dan korupsi sekarang sudah tidak terpusat melainkan sampai meracuni rakyat bahkan menjadi percontohan massal diberbagai instansi baik negeri maupun swasta.

Sistem yang menonjolkan ke-aku-an atau melebihkannya dan melabeli cara yang baru akan lebih baik justru menjadi racun bagi kelangsungan hidup rakyat. Pemimpin baru, kabinet baru, sistem baru, program baru dan irama kerja serba baru. Tatkala semua itu baru akan berjalan maka sebenarnya tidak rugi apabila melihat spion yang sudah menorehkan perjalanan. Tanpa mereka sadari telah sombong menganggapnya sebagai mata air di tengah oase panggung kepemimpinan sedangkan mental sebenarnya hanyalah sebatas fatamorgana yang membiaskan. Apalagi melahap mentah-mentah sistem tersebut yang tidak harus diterapkan secara keseluruhan yang menimbulkan masalah baru yang merujuk hak-hak dasar manusia. Masyarakat awam pun merasa seperti dibebaskan melalui kemudahan akses internet berbagai cara menyampaikan pendapat meskipun tidak selalu menimbulkan konfik fisik. Dari cara menelaah makna sistem sudah ada ketimpangan yang harusnya tidak tak terbatas dan bertanggungjawab menjadi akses 24 jam tanpa batas sesuai hak dasar manusia. Akhirnya bak kebakaran jenggot serta sadar bahwa batasan kewajaran sudah ditinggalkan. Untung saja Negara Nasional Khatulistiwa masih bisa menghormati secara fisik mengenai makna filosofi bendera, jika tidak mungkin sudah hilang pemaknaan dari sisi historisnya.

Pemimpin kencing berdiri, bawahan kencing berlari dan rakyat pun kencing sambil menari. Seni memimpin dikawal melalui media sebagai peliput yang secara obyektif menelaah peristiwa  telah berganti sebagai tim sukses perjuangan dalam industri perpolitikan. Media sudah menjadi barometer menciptakan pamor, kredibilitas ataupun eksistensi kualitas pemimpin yang sebenarnya tidak mutlak dilihat sebagai apresiasi dengan Maha Kebenaran Publiknya. Gaya eksis bekerja merebak ke lapangan yang diikuti oleh bawahan hingga aksi stuntman melompat pagar sebagai cara yang diajarkan atasan sebagai bukti capaian pekerjaan lalu rakyat terus memberikan ucapan simpati sambil menari seraya mengucapkan “Ini pemimpinku, bisa begini dan bisa begitu, mana pemimpinmu yang hanya bisa merayu”. Kembali lagi rakyat hanya terpesona memperoleh kejelasan pekerjaan yang meletup dipermukaan. Mereka tidak akan pernah mengetahui deal-deal poltik dibalik irama kerja yang mempunyai indikasi pro rakyat pun mereka tidak mengetahui keberadaannya. Bahkan sebelum menjadi pemimpin disaat menjadi calon mereka tidak mengetahui sepak terjang pendukung dibalik layar. Sedangkan penggempuran asumsi-asumi pemberitaan semakin gencar berlomba-lomba bahkan memberikan apresiasi. Muncul pandangan-pandangan rakyat yang mblinger melihat sesuatu dari kacamata publik atas pembenaran media.

Kembali lagi mengenai sejarah atas batasan-batasan media dalam menerangkan sesuatu hal mempunyai keterikatan atas dasar pemersatu bangsa dan segenap rakyat di dalamnya. Dahulu apresiasi media mengumpulkan para petani melihat keadaan masalah pangan dan kompleksitas masalah pedesaan menjadi konsumsi masyarakat luas. Penghargaan sebagai rakyat lebih besar bahkan menjadi motivasi generasi selanjutnya minimal sebagai ensiklopedi informasi bagi akademisi di bidang pertanian. Sekarang sudah ditinggalkan hanya demi pencapaian rating pemirsa media mengusung topik kontroversi, maka rakyat kembali disibukan atas atas media yang pro dan kontra. Kemudian mengenai tingkat kepercayaan masyarakat kepada media pun tidaklah semurni atas dasar informasi melainkan kepentingan besar dibalik agen yang mencengkram dari industri informasi global dan itu sudah menjadi rahasia publik bagi yang menyadari hal itu.


Ibarat sebuah penyakit sudah mencapai titik komplikasi dan yang sudah terjadi bersifat tidak dapat berdiri sendiri artinya sangat dipengaruhi berbagai kejadian yang telah lampau. Ahli-ahli sejarah sudah sangat lelah menuliskan peristiwa melalui rumus-rumus konsep masalah. Untuk menentukan garis komprehensif dan variabel yang multi dimensional bagi mereka sangatlah sulit apalagi masyarakat awam. Padahal apabila mereka mau mempelajari masalah lalu dan mengabaikan rasa “ke-aku-an” pengulangan langkah yang berakibat jatuh di lubang yang sama dapat dielakkan. Masyarakat kembali tersungkur lalu terjebak dalam angan cita-cita terperosok terus bernyanyi dengan jargon-jargon semangat melantangkan aksi revolusi. Masih belum sadar masyarakat terus di nina bobokan atas kamuflase semangat membangun kemudian mereka tidak mengetahui kepemilikan aset-aset pembangunan yang sebenarnya sedangkan istilah pembangunan itu sendiri sudah mengalami konotasi makna yang mendasar.

No comments:

Post a Comment