Sunday 27 November 2016

“Mbah Adem”, Penjual Kue Bandhos di Pasar Doro

Sebuah narasi hidup yang tidak menampakan belas kasihan orang lain, justru memberikan inspirasi makna ketekunan, ketelatenan dan juga kerja keras dalam menjemput rezeki berupa nafkah kepada keluarga.


Seorang laki-laki tua sedang duduk di pinggir  jalan perempatan Pasar Doro Kabupaten Pekalongan menunggu adonan terigu yang sedang dimasaknya.  Mbah Adem beliau sering disebutnya, laki-laki berasal dari kampung Dororejo yang mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang kue bandhos dengan bahan dasar terigu berserta parutan kelapa. Diusianya yang sudah mencapai 72 tahun beliau masih tetap bersemangat giat bekerja. Perempatan Pasar Doro merupakan tempat strategis aktifitas lalu lalang perekonomian. Baginya spot perempatan tersebut dipilihnya agar kue bandhos dapat mudah dijumpai calon pembelinya.


Menekuni usaha dagang kue bandhos bukan hal sepele atau mudah dilakukan. Tidak hanya bermodal alat dan bahan pembuat kue untuk bisa eksis hingga sekarang. Hal yang paling utama adalah kesabaran, telaten dan semangat berdagang yang tiada hentinya. Sangat mengagumkan pada tahun 1977, Mbah Adem merintis usahanya di sebuah kota di Jawa Timur  yaitu Wonokromo. Pengalaman kerja yang tidak singkat, 38 tahun masih setia berdagang kue bandhos hingga sekarang. Selama kurun waktu bertahun-tahun Mbah Adem bermukim disana, terkadang rasa kangen keluarga pasti ada. Apabila keadaan sudah memungkinkan kembali ke Pekalongan tentunya akan pulang dengan membawa bekal nafkah kepada keluarganya. Faktor usialah yang mengharuskannya beliau pulang kampung dan melanjutkan dagangnya keliling dekat rumahnya.

Mbah Adem berusaha ramah disaat melayani pembeli dan suka bercanda. Meski senyumnya yang tak lagi terlihat giginya, namun kedamaian hidup terpancar dalam raut wajahnya. Serasa hidup dibuat senang meski beban terkadang menghimpit hidupnya. Sebuah prinsip hidup yang memang harus dijalani ketentuan yang digariskan oleh Allah SWT.


Tersenyum adalah cara Mbah Adem yang tidak ingin terlalu membebani hidupnya. Beliau menekankan prinsip meringankan semua permasalahan, berusaha tersenyum agar penat pikiran dan hati tidak melanda. Ujian hidup berupa waktu luang ataupun sempit, disaat ramai atau sepi pembeli dan pelajaran hidup lainnya, sesuai dengan ucapannya, “Urip kuwi kudu dijalani, gari manut kaleh Gusti Allah”, sebuah saran dari Mbah Adem disela-sela candanya. Meski sangat sederhana dan dikemas dalam suasana bercanda maksud dari perkataan Mbah Adem diantaranya tentang hidup tetap semangat dan terus menyadari agar tetap mematuhi sesuatu yang digariskan oleh Allah SWT.

Saat ditanya tentang libur berdagang, beliau menjawab. “Libur kulo dinten Jemuah, ben biso Jumatan” ucap Mbah Adem sembari meniriskan kue bandhos yang sudah matang. Nuansa religi Mbah Adem tersirat atas penghormatan hari Jum’at sebagai hari raya agamanya. Kegiatan hari Jum’at meskipun tidak berdagang Mbah Adem masih mengurusi ladang kecil dekat rumahnya. Selain itu terkadang beliau masih mengurusi sawah tinggalan orang tuanya. Diusianya yang bisa dikatakan tua, secara fisik tentunya masih mampu dalam batasan ringan. Menghargai waktu baginya sebuah ketelatenan terhadap apapun yang beliau bisa lakukan, selama itu masih mampu.



Orang lain melihatnya Mbah Adem dengan rasa haru yang mendalam atas usia yang tak lagi muda masih tetap mencari nafkah. Namun, itu menjadi kemuliaan baginya karena selama nafas berjalan prinsip hidupnya tak pernah padam. Beliau tidak ingin mengandalkan pemberian dari anak-anaknya. Mengenai harapan, dia hanya pasrah menjalani hidup dan berusaha dalam langkah kaki membawa dua kotak yang berisi kompor masak dan tempat penyajian kue bandhos. Pembeli yang bisa membaca keadaan terkadang akan merasa malu atas semangatnya.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan barokah hidup kepadanya.


Doro, 26 November 2016

No comments:

Post a Comment