Sunday 10 February 2019

Persepsi Wadah

Tanpa tidak disadari bahwa sesuatu yang sudah manusia miliki menimbulkan batasan ruang cara berpikir. Sebelum manusia berkembang, anak-anak adalah bentuk manusia yang jujur. Justru karena sesederhana itu sebenarnya akan menjadi refleksi jawaban permaslahan bersama. 

Untuk mengungkap masalah tidak semuanya dimaknai dengan pengkategorian yang dibuat manusia. Pada ujungnya manusia tak kan pernah mampu menggapai jawabannya. Karena pada diri manusia hanya diberi pinjami kebenaran. Batasanya hanya seper sekian mikro dari ke-Maha Tahu-an Tuhan pengatur alam semesta.

Sepatutnya anak-anak akan senang ketika hujan tiba. Dunia mereka dalam bentuk keceriaan tanpa batasan baik di tempat kering atau basah. Semuanya tidak terjadi begitu saja. Ada sinyal sebagai petunjuk sederhana memaknai kegembiraan. Sedang pada manusia dewasa untuk bergembira harus masuk dalam ranah pengetahuan melalui sel-sel tentang sebab dan akibat, asal dan ciptaan, awal dan berakhir, dan sebagainya. Dari pikiran kemudian dikomunikasikan dengan hati. Sedang di hati tidak ada batasan manusia untuk berkeinginan. Dari keinginan itu maka ada gejolak itikad serta langkah yang dibungkus dalam kepentingan manusia.

Lalu apakah cara keduanya salah? Ternyata tidak. Ada dialektika antara proses manusia bertumbuh. Bentuknya ada keterikatan dari masa lampau untuk masa sekarang. Hal sederhana bisa menjawab yang rumit. Sedangkan yang rumit bisa menampakkan nilai-nilai kebenaran Tuhan yang diwakilkan kepada melalui pengetahuan manusia dan sifatnya bukan kepemilikan namun asas peminjaman.

Membedakan galon, botol beserta cangkir harus memiliki ilmu titen. Membedakan bentuk, estetika, material, fungsi, budaya, fisika, kimia dan sebagainya. Namun untuk menyikapi kebijaksanaan manusia mungkin bisa memilih proses cara sederhana berpikir seperti anak-anak yaitu semuanya sebagai wadah meletakkan benda-benda cair. Sesederhana itu semestinya kedinamisan dialektika berpikir manusia menuju manusia yang bijak.

No comments:

Post a Comment