Sunday 10 February 2019

Kue Keranjang dan Imlek


Mempunyai tetangga berlainan etnis bagi saya sebuah pengalaman yang dari dulu tidak pernah saya bayangkan. Rasa-rasanya memang harus banyak bersyukur. Tuhan sengaja menciptakan berbagai suku, bangsa, ras agar manusia saling mengenal dan memahami serta mengambil bagian dalam interaksi masyarakat. 

Rasa semangat serta bahagia saya muncul saat mengerti bahwa hubungan itu tidak sebatas, "Say... Hay..!" atau menyapa menggunakan klakson "Tee...teet" saat berpapasan di jalan. Hubungan tersebut berkategori baik namun masih dalam sebatas peleburan kewajiban ramah tamah, ternyata keadaanya berbeda, lebih dari itu. 

Yaitu Om Kokoh, seorang laki-laki keturunan Tionghoa yang usianya telah senja, hampir 70 tahun. Ia masih suka jagongan pos ronda. Bersama warga lainnya mengisi kegiatan keamanan. Melihat usianya sekarang, wargapun tidak mewajibkan turut serta mengambil peran. Namun, Om Kokoh lebih mementingkan aksi interaksi. Memudahkan langkahnya bergerak ngampling bareng serta tandang bareng.

Rumah Om Kokoh berada di deret gubuk saya bagian barat. Sedang di depan rumahnya terdapat pos ronda. Ini salah satu alasan beliau rajin bercengkrama bersama warga. 

Obrolan yang sering terlontar dari mulut Om Kokoh tak kalah menarik yang bercerita tentang masa mudanya. Ketika masih muda setiap hari beliau berinteraksi dengan warga sekitar. Om Kokoh punya usaha toko material yang berada di pinggir jalan Pantura. Biasanya jika membeli material dalam jumlah besar dan banyak, Om Kokoh sering mengantarkan sendiri menggunakan L300 warna hitam ke rumah pembeli. Dengan ciri khas bahasa Jawa ngokonya beliau merasa lebih santai ngobrol bareng tukang bangunan yang telah akrab dengannya. 

Memang cerita beliau saya pahami betul dengan realitanya. Sewaktu saya kecil saya sering melihat beliau nyetir mobil pickup mengantarkan besi, keramik dan semen hingga berkali-kali dalam sehari.

Cerita beliau memang penuh kejujuran. Setiap hari beliau tekun bekerja. Berangkat pagi pulang sore besoknya stay lagi keliling mengantarkan pesanan. Jiwa melayaninya telah terbentuk secara alamiah.

Semalam bersama turunnya hujan agak besar. Dari pintu gubuk saya terdengar suara laki-laki memanggil nama saya. Sontak saya bergegas keluar. Setelah pintu saya buka Om Kokoh membawa plastik hitam kemudian berkata, "Kue keranjang ngge Mas Syukron", sambil langkahnya berpamitan pulang.

Sembari saya menutup pintu ada kebahagiaan dan juga penyesalan yang saya rasakan. Energi ketulusan hati Om Kokoh tercermin dari langkahnya bersama hujan deras masih saja memanen ladang kebaikan kepada tetangganya samping kanan kirinya. 

Sedang saya tiap kali Tahun Baru Hijriyah tak pernah ikut andil memanen ladang kebaikan itu terutama kepada beliau.


No comments:

Post a Comment