Atas
kejadian di bank kemarin siang, Lek Karyo sampai ke rumah bergumam, mulutnya
mecucu, komat kamit menahan misuh, pengen protes terhadap peraturan penunjukan
KTP. Sifat Lek Karyo tidak sabar hanya ketika ada peraturan yang tidak lumrah.
Termasuk keganjilan kemarin yang membuatnya sedikitnya meradang.
Bermula
saat setelah mengantri 20 menit, Lek Karyo maju menuju arah teller. Setelah
Mbak berwajah tirus bertubuh semplohay itu memanggil nomor antrian A-106.
Mukanya menampakkan keramahan yang dipaksakan karena SOP membuat senyum Lek
Karyo agak keki.
"Selamat siang bapak"
"Siang mbak"
"Dengan saya Painem, ada yang bisa di bantu?"
"Iya Mbak Inem, saya mau setor nabung ke rekening saya"
"Oiya bapak, maaf KTP nya ada?"
"Lho sekarang pake KTP tho?maksudnya apa? Apa kurang cukup hanya dengan
buku tabungan?"
"Iya bapak, ini peraturan baru di kami.
Nasabah harus menyerahkan bukti KTP"
"Terus pentingnya apa mbak bukti KTP?
sementara ini saya ini mau setor uang 600 ribu buat bayar setoran gubuk saya.
Kecuali kalau mau narik saya izinkan Mbak Inem melihat KTP saya, bagi saya itu
privasi tidak sembarang mudah diperlihatkan".
"Sebenarnya untuk otoritasi kepercayaan saja
pak buat kami"
Bagi Lek Karyo masih jawaban simpel. Jawaban yang
mewakili pihak bank belumlah cukup bagi dia.
"Sebentar....atas alasan otoritasi
kepercayaan? selama ini saya sudah menjadi nasabah 10 tahun mbak. Ini tahun
ke-11 saya. Angsuran saya rutin, kalaupun telat karena batas akhir pembayaran
adalah tanggal merah. Kalau bukti buku tabungan itu tidak cukup membuat bank
percaya dengan saya. Mending saya akan ganti bank mbak kalau gitu. Karena
sebenarnya pinjam meminjam itu atas kerja sama saling menguntungkan dan
dilandasi kepercayaan. Jika itu pihak bank sudah tidak mempercayai saya mengapa
harus berlanjut?"
"Sabar pak....bukan berarti kami tidak
percaya, tapi memang ini peraturan"
"Lho peraturan kan dibuat atas dasar yang
konkrit mbak? begini lho....bank ini kan mengeluarkan buku tabungan sedang buku
tabungan adalah hal privasi. Penunjukan KTP ini seharusnya bagi yang nasabah
tidak sesuai dengan buku tabungan. Sedangkan jika nasabah buku tabungan sesuai
dengan namanya tidaklah perlu harus menunjukan bukti diri"
"Nah itu pak agar bisa menyinkronkan pemilik
buku dengan pemilik asli kami perlu bukti", jawab mbak teller tersebut.
Lek Karyo mulai meradang.
"Saya tegaskan ya mbak...Saya ini mau setor
lho mbak, jujur saya keberatan jika mbak memperlihatkan KTP saya. Kalau saya
mau ambil uang, why not? Saya serahkan sebagai verivikasi. Lha ini saya mau
setor kok ribet banget harus pake KTP segala. Saya baru kali ini menjumpai bank
serewel ini lho mbak peraturannya".
"Nah itu pak, kalau bapak tidak bersedia
menunjukan KTP ada alternatif lainnya pak. Yaitu model transfer, jadi tetep
masuk saldo tapi tidak dicetak dibuku tabungan."
"Lantas, buku tabungan ini tidak berarti ya
mbak?"padahal saya mau setor nabung aja lho mbak. Saya kok geli campur
pengen marah kok peraturan aneh ya? saya di bank ini jadi orang bego."
"Iya pak betul"
"Betul gimana?aneh ya?nasabah mau nabung sudah
bawa buku tabungan. Masih saja pihak bank belum percaya atas kepemilikan buku
itu. Selama 10 tahun saya dipercaya sebagai nasabah, angsuran saya rutin. Di
tahun ke 11 ini saya mau setor nabung, hanya karena kurang KTP transaksi
batal"
"Maaf pak ketidaknyamanan peraturan ini
pak"
"Saya ini legowo mbak jika memang masuk akal.
Misalnya menunjukkan KTP jika mau mengambil. Ini saya masih mentolerir. Lha ini
saya mau nabung di buku tabungan saya. Kok pihak bank bersikeras. Apa jaminan
bahwa KTP saya tidak disalahgunakan?"
(Mbaknya tellernya terdiam)
"Gini saja mbak, besok saya akan ganti bank
yang lebih simpel dari bank yang tidak se rempong ini, makasih".
Lek Karyo meninggalkan bank, sebagian nasabah lain
tercengang melihatnya.