Salah satu
tren menjamur dari penamaan label di Indonesia adalah syariah. Jilbab syariah,
gamis syariah, kosmetik syari, minimarket syariah, salon syariah, jual beli
syariah, apa lagi? Oya terakhir yaitu bank syariah. Ya, mayoritas negara muslim
ini menjadi sebab musyabab apapun produk apabila dilabeli syariah lebih
memastikan calon pembeli lebih mantep tanpa was-was.
Tulisan
ini sangat sederhana sekedar "ngudo roso" sebagai warga penduduk
Indonesia yang kebetulan mempunyai akun Facebook. Sepertinya mubadhirin nasuha,
(menyiakan barang dengan sungguh-sungguh), jika aplikasi ini dilewatkan begitu
saja. Baiknya facebook sebagai ajang untuk berpikir bersama-sama, memberi
gagasan yang sekiranya bisa membuat seseorang merasakan manfaatnya. Akan tetapi
saya juga tak memaksakan bahwa tulisan ini bisa bermanfaat bagi Anda. Yang saya
tekankan pada prinsip kembali lagi pasal di atas yaitu asas memanfaatkan
facebook, agar tidak selalu diisi dengan foto, video atau isu lain yang bertebaran,
oke cucok.
Menjamurnya
bank berbasis syariah, menaruh perhatian bagi saya. Bagi saya, fenomena ini
sangat blunder sekali. Statistik Perbankan Indonesia dari Otoritasi Jasa
Keuangan jumlah bank umum di Indonesia berjumlah 115 bank. Yang saya tahu dari
beberapa bank konvensional juga membangun sistem bank syariah yang masih
menggunakan nama induk banknya. Bisa dibayangkan analoginya dari bank tersebut
sekarang memeliki saudara kandung wajahnya hampir sama, namun target pasarnya
berbeda yang syariah mengacu pada sistem ekonomi islam.
Mestinya
apabila diyakini sistem yang baru sangat kompitabel dengan mayoritas penduduk
Indonesia itu muslim, seharusnya sistem konvensional dihapuskan. Namun, jika
cara demikian dipandang kurang tepat, seyogianya bank konvensional lebih
berfokus pada satu sistemnya sendiri. Sedang bank yang berorientasi penuh
dengan sistem syariah biarkan juga berkembang dan mempunyai pangsa pasar
masing-masing. Dari sini kita tahu tujuan akhir dari dualisme sistem tidak lain
adalah ada pangsa pasar yang menjanjikan.
Saya jadi
ingat pengalaman setahun lalu. Di depan bank konvensional saya ngobrol
ngalir-ngidul bareng dengan pak satpam berpostur tinggi agak kurus. Hingga
dipertengahan obrolan ringan tersebut saya langsung teringat untuk menanyakan sesuatu
hal. Tanpa ba-bi-bu pertanyaan itu terlontar.
"Pak
bedane apa tho bank konvensionalmu iki karo model bank syariahe?"
"Bedane neng akade mas biasane ngunu"
"Oh, Iyo anggre prinsip Mudhorobah, Wadiah, ngunu tho?"
"Lha kuwi sampeyan ngerti?"
"Jare Mbah google pak" ucapku menahan tawa.
"Lha nek modale bank syariah seko endi pak?"
"Halah mas, sak jane hampir mirip mas modale ya seko konvensional. Lha nek syariah kenthean modal, aku kadang ngawal bosku nganter duit neng syariah".
"Owalah hahaa...ngunu tho pak?nembe ngerti aku kih", saya bergegas meninggalkan bank.
"Bedane neng akade mas biasane ngunu"
"Oh, Iyo anggre prinsip Mudhorobah, Wadiah, ngunu tho?"
"Lha kuwi sampeyan ngerti?"
"Jare Mbah google pak" ucapku menahan tawa.
"Lha nek modale bank syariah seko endi pak?"
"Halah mas, sak jane hampir mirip mas modale ya seko konvensional. Lha nek syariah kenthean modal, aku kadang ngawal bosku nganter duit neng syariah".
"Owalah hahaa...ngunu tho pak?nembe ngerti aku kih", saya bergegas meninggalkan bank.
Setahu
saya saat ini nasabah hanya dibekali pengetahuan mengenai prinsip perbankan
syariah ketika hendak menggunakan produk bank syariah. Setidaknya mereka harus
mengetahui pula ada keterikatan tidak mengenai permodalan dengan bank dengan
saudara tertuanya agar mereka bisa lebih cerdas sedikit dari direksi banknya.
No comments:
Post a Comment