Saturday, 15 December 2018

Sinau Mawa Cara Bersama Penggiat Budaya Pekalongan

Para tokoh penggiat budaya Pekalongan hadir dalam acara Grumungan Budaya Wiradesa Mawa Cara yaitu Pak Dirhamsyah Mas Agus Sulistyo dan Kang Ribut Achwandi, penampilan pembacaan puisi dan pergelaran grup musik Rodesouth, salah satu band akustik dari Wiradesa yang menambah kehangatan tadi malam (15/12).

Ada istilah Mawa Cara di sekitar Wiradesa yaitu dalam profesi nelayan di pesisir pantura. Komunitas Pemuda Nelayan Wonokerto dalam paparannya menjelaskan berbagai istilah dalam menangkap ikan yaitu nggoto, miyan, milir dan tawur. "Nggoto berarti nggolek artho berasal dari dialektika antar nelayan sebagaimana mengingatkan untuk mencari uang (nafkah), miyang artinya proses perjalan dari rumah ke tempat perahu bersandar, kalau milir yang berarti berjalannya arah perjalanan tujuan berlayar biasanya sebagai komunikasi antara juru mudi (nahkoda) dengan awak kapal. Sedangkan tawur merupakan prosesi penangkapan dengan menjaring ikan.” papar pemuda yang sangat dekat dengan interaksi sosial masyarakat Pantai Wonokerto.

Pada acara Grumungan Budaya  Mas Agus Sulistiyo berhasil memantik semangat peserta untuk terus mengembangkan dan melestarikan budaya melalui grumungan ini. “Anda ini meskipun masih dalam embrio dan harus berproses panjang, kegiatan forum yang bersifat egaliter ini mendapatkan apresiasi dari daerah lain. Mereka melirik agar daerahnya juga ingin mengadakan acara Grumungan Budaya serupa sebagaimana ajang yang positif dan sangat menarik disajikan ke masyarakat”, ungkap beliau.

Mawa cara sebenarnya telah dilakukan oleh nenek moyang kita terdahulu. Dari kebiasaan grumungan mereka secara tidak langsung membuat peradaban kebudayaan. “Dahulu mbah kita untuk membuka daerah Wiradesa mereka melakukan grumungan hampir tiap malam. Mereka membangun pola adat istiadat, bahasa, dialek  dan sebagainya.” Papar Mas Agus Sulistiyo. Selain itu, beliau juga mengungkapkan manfaat dari grumungan ini yang berdampak pada pembentukan nilai kemanusiaan baik sisi batiniah maupun lahiriah secara kebudayaan.

Sebagai prolog pemaparan beliau tema Wiradesa Mawa Cara Kang Ribut menjelaskan sifat budaya yang bersifat dinamis. “Kebudayaan ini berkembang tidak bisa statis. Kalau kita mempunyai sosial media maka kita pergunakan semaksimal mungkin untuk mendukung budaya kita. Bukan berarti gajetnya (alatnya) yang salah tapi sebenarnya sebenarnya kebiasaan kita dalam menggunakannya yang salah”, tandasnya.

Dalam pandangannya, bahwa budaya terlahir dari dimensi ruang dan waktu sangat relatif. Sedangkan batasan waktu itu sendiri tidak dapat dicapai. Menurut Kang Ribut, “Hari ini kita membahas tentang masa lalu, kemudian batasan masa lalu dan sekarang itu sulit untuk dilakukan. Jadi apabila kita menghadirkan budaya masa lalu ke masa kini pun juga tidak salah.”papar Kang Ribut.

Pada puncak acara Peserta Grumungan Budaya juga mendapat stimulus dari Kang Ribut mengenai Bahasa  simbol yang merupakan perwakilan esensi saja.  Untuk itu setiap istilah yang mejadikan Wiradesa Mawa Cara maka harus dicari Misalnya istilah miyang pendekatannya dari kata  menyang yang berarti berangkat. Dalam Bahasa Jawa Kawi Gyang sedangkan pada dialek Pekalongan menjadi gagiangan yang berarti untuk bergegas. Maka harus dicari  dimensi miyang dari ruang dan hitungan waktu harus dicari dan digali oleh mayarakat budaya sehingga melahirkan kreatifitas  rumus-rumus ala kearifan lokal Wiradesa sebagaimana Albert Einstein melahirkan rumus teori EmC kuadrat karena lahir dari kreatifitasnya yang terdesak. Kemudian acara Grumungan Budaya yang bertema Wiradesa Mawa Cara ditutup dengan acara saling berjabat tangan antara peserta dan nara sumber yang begitu sumringah mendapat pelajaran yang semoga bisa bermanfaat.



No comments:

Post a Comment