Para tokoh penggiat budaya Pekalongan hadir dalam acara Grumungan Budaya Wiradesa
Mawa Cara yaitu Pak Dirhamsyah Mas Agus Sulistyo dan Kang Ribut Achwandi,
penampilan pembacaan puisi dan pergelaran grup musik Rodesouth, salah satu band
akustik dari Wiradesa yang menambah kehangatan tadi malam (15/12).
Ada
istilah Mawa Cara di sekitar Wiradesa yaitu dalam profesi nelayan di pesisir
pantura. Komunitas Pemuda Nelayan Wonokerto dalam paparannya menjelaskan
berbagai istilah dalam menangkap ikan yaitu
nggoto, miyan, milir dan tawur. "Nggoto
berarti nggolek artho berasal dari dialektika antar nelayan sebagaimana
mengingatkan untuk mencari uang (nafkah),
miyang artinya proses perjalan dari rumah ke tempat perahu bersandar, kalau
milir yang berarti berjalannya arah
perjalanan tujuan berlayar biasanya sebagai komunikasi antara juru mudi
(nahkoda) dengan awak kapal. Sedangkan tawur
merupakan prosesi penangkapan dengan menjaring ikan.” papar pemuda yang sangat
dekat dengan interaksi sosial masyarakat Pantai Wonokerto.
Pada
acara Grumungan Budaya Mas Agus
Sulistiyo berhasil memantik semangat peserta untuk terus mengembangkan dan
melestarikan budaya melalui grumungan ini. “Anda ini meskipun masih dalam
embrio dan harus berproses panjang, kegiatan forum yang bersifat egaliter ini mendapatkan
apresiasi dari daerah lain. Mereka melirik agar daerahnya juga ingin mengadakan
acara Grumungan Budaya serupa sebagaimana ajang yang positif dan sangat menarik
disajikan ke masyarakat”, ungkap beliau.
Mawa
cara sebenarnya telah dilakukan oleh nenek moyang kita terdahulu. Dari
kebiasaan grumungan mereka secara tidak langsung membuat peradaban kebudayaan. “Dahulu
mbah kita untuk membuka daerah
Wiradesa mereka melakukan grumungan hampir tiap malam. Mereka membangun pola adat
istiadat, bahasa, dialek dan sebagainya.”
Papar Mas Agus Sulistiyo. Selain itu, beliau juga mengungkapkan manfaat dari
grumungan ini yang berdampak pada pembentukan nilai kemanusiaan baik sisi
batiniah maupun lahiriah secara kebudayaan.
Sebagai
prolog pemaparan beliau tema Wiradesa Mawa Cara Kang Ribut menjelaskan sifat
budaya yang bersifat dinamis. “Kebudayaan ini berkembang tidak bisa statis. Kalau
kita mempunyai sosial media maka kita pergunakan semaksimal mungkin untuk
mendukung budaya kita. Bukan berarti gajetnya (alatnya) yang salah tapi
sebenarnya sebenarnya kebiasaan kita dalam menggunakannya yang salah”, tandasnya.
Dalam
pandangannya, bahwa budaya terlahir dari dimensi ruang dan waktu sangat relatif.
Sedangkan batasan waktu itu sendiri tidak dapat dicapai. Menurut Kang Ribut, “Hari
ini kita membahas tentang masa lalu, kemudian batasan masa lalu dan sekarang
itu sulit untuk dilakukan. Jadi apabila kita menghadirkan budaya masa lalu ke
masa kini pun juga tidak salah.”papar Kang Ribut.
Pada puncak acara Peserta Grumungan Budaya juga mendapat stimulus dari Kang
Ribut mengenai Bahasa simbol yang merupakan
perwakilan esensi saja. Untuk itu setiap
istilah yang mejadikan Wiradesa Mawa Cara maka harus dicari Misalnya istilah miyang pendekatannya dari kata menyang yang
berarti berangkat. Dalam Bahasa Jawa Kawi Gyang
sedangkan pada dialek Pekalongan menjadi gagiangan yang berarti untuk bergegas. Maka harus dicari dimensi miyang dari ruang dan hitungan waktu harus
dicari dan digali oleh mayarakat budaya sehingga melahirkan kreatifitas rumus-rumus ala kearifan lokal Wiradesa
sebagaimana Albert Einstein melahirkan rumus teori EmC kuadrat karena lahir dari
kreatifitasnya yang terdesak. Kemudian acara Grumungan Budaya yang bertema Wiradesa
Mawa Cara ditutup dengan acara saling berjabat tangan antara peserta dan nara
sumber yang begitu sumringah mendapat pelajaran yang semoga bisa bermanfaat.
No comments:
Post a Comment