Wednesday, 12 December 2018

Salam dari Anakmu, Pak Koes



“Lama enggak bersua ke jaman SMP kita ya?” Mestinya kenangan itu jangan dibawa baper tentang masa lalu yang tak bisa diulang. Ada banyak hal yang menarik, lucu dan sangat wagu sekali. Tentang apa sih, yang bisa kita ambil yaitu sesuatu yang kita ceritakan buat anak kita. Tentunya hal yang paling indah atau masa seru-seruan saat bersekolah. Semangat bangun pagi harus naik sepeda bareng-bareng, naik angkot bahkan ada yang setia dengan jalan kaki. Jika itu tempat tinggalnya di sekitar lingkungan sekolahan. Rangkaian kenangan yang kita rajut dari masa remaja mengantarkan polah tingkah kita menambah repotnya guru BP. Mereka yang selalu setia berdiri di depan gerbang sekolah menungggu siswa terlambat, menangani kasus bolos sekolah, tidak disiplin berpakian, ketahuan merokok dan seabrek permasalahan antara hubungan siswa dengan orang tua. 

Tulisan ini terlahir dari hal rasa syukur saya bisa mengenal kalian, teman-teman satu angkatan SMP 1 Wiradesa. Bentuk ruang keangkuhan saya pun, sepertinya tidak pernah ada karena dari dulu saya mengakui tidak pernah memberikan andil apa-apa. Memberikan nama harum sekolah pun sungguh tak pernah bisa. Apalagi memberi pengharum ruang kelas, semacam Stela gantung atau Bay Fresh Spray sungguh tidak terpikirkan sama sekali. Yang saya rasakan adalah dampak terbesar dalam menggali sesuatu yang bermanfaat yaitu karakter hasil pendidikan yang saya rasakan hingga tulisan ini sampeyan baca. 

Saya termasuk siswa biasa dan beruntung ditempatkan bersama teman-teman yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Saya sendiri lebih banyak suloyonya dalam hal mata pelajaran hitung-hitungan dan Bahasa Inggris. Cukup beruntung masih ada teman-teman yang mau saya contoni (memberikan jawaban) saat ulangan harian terencana ataupun ujian semesteran. Namun tentang soal sepele mengamati pola sosial lingkungan dari dulu hingga sekarang pikiran saya masih landhep  bisa merasakan hal-hal yang bisa saya refleksikan dalam perjalanan hidup saya. Pola sosial yang saya maksud lebih menekankan interaksi masing masing guru kepada siswa benar-benar saya amati dan saya rekam. Gaya leader-nya Pak Koes salah satunya. Sampai saat ini masih saya simpan dari mulai datangnya beliau naik mobil kijang boyo berwarna merah berpakir di area timur sekolahan. Hingga gaya jujur khas di meja tamu beliau, tergeletak rokok Dji Sam Soe dan korek api gas di atasnya. Itu semua hanya sebatas casing yang saya amati sebagai anak didik yang tak pernah dekat dengan beliau.

Energi dari Pak Koesnandar, bagi saya adalah yang pesan bijak dari ucapan dan perilaku beliau sebagai bapak, yang berperan pengayom dan pelindung. “Kalian itu dari kelas A hingga kelas F  sudah saya anggap anak saya sendiri. Jadi saya tidak akan membedakan. Meskipun tidak pandai, meskipun nakal, meskipun bolosan tetap saya anggap anaknya sendiri.”, ucapan beliau yang selalu saya ingat hingga saat ini. Latar belakang ucapan itu berawal dalam momen upacara yang mengumumkan prestasi siswa kelas A pada olimpiade matematika yang berhasil menyabet juara pertama. Namun, pemandangan lain sangat kontradiksi dengan para siswa kelas F yang sering rame pada jam kosong, banyak yang bolos dan rekor menjadi panitia remidi terbanyak ketika ujian semesteran. Tanggapan beliau di sela-sela mengisi upacara itu membuat saya merunduk hingga mata saya berkaca-kaca. Kasih sayang beliau tercurah langsung. Betapa tidak ada bedanya antara siswa yang berprestasi ataupun tidak. Kita sudah dianggap sebagai anak beliau yang sangat diperhatikan setiap minggunya melalui nasehat-nasehat di hari Senin dalam kegiatan upacara. 

Sekitar tahun 2016 bersama istri beliau sering bolak-bolak ke rumah sakit. Di ruang tunggu kamar operasi beliau duduk ngobrol dengan keluarga pasien lainnya yang juga sedang menunggu proses operasi. Saya langsung menghampiri dan sungkem kepada beliau. Tak lain beliau sedang menunggu proses operasi ibu (istrinya). Lalu terakhir berkomunikasi, beliau bercerita tentang kesendiriannya semenjak 4 bulan terakhir ditinggal ibu untuk menghadap Sang Pencipta. Keadaan beliau pun sering sakit-sakitan terakhir beliau mengeluh sakit di area pinggang. Saya menatap wajahnya yang tak beda dengan wajahnya sekitar 14 tahun yang lalu. Sayup mata sipit yang terlihat saat beliau tersenyum membuat saya ingin sungkem setiap bertemu ketika beliau berobat. Bersama surat Al Fatikhah ini saya saya sampaikan, “Anakmu rindu atas nasihatmu, Pak Koes” semoga Khusnul Khotimah, Ilmu cara pandang Pak Koes bagi saya sangat bermanfaat.

No comments:

Post a Comment