Saturday, 15 December 2018

Kegiatan KOBUIRA Wiradesa Mawa Cara

Kegiatan Komunitas Budaya Wiradesa edisi ke-3, menggelar acara Grumungan Budaya yang bertemakan Wiradesa Mawa Cara pada hari Sabtu, 15 Desember 2018, di Pendopo Kecamatan Wiradesa. Para peserta grumungan budaya ini diikuti oleh berbagai penggiat kegiatan kesenian di Pekalongan, masyarakat Wiradesa dan sekitarnya. Tak luput kegiatan ini mendapat dukungan sepenuhnya dari Kantor Kecamatan WIradesa yang telah memberikan tempat bertemunya seluruh lapisan masyarakat dalam nuansa kearifan budaya lokal setempat.

Di sela-sela kesibukan kegiatan dari Bapak Camat Imam Nasai dan Pak Kapolsek Wiradesa Yorisa Wibowo SH juga  turut hadir dalam suasana santai mengenakan kaos oblong dan peci hitam sekaligus turut membuka acara tersebut. Dalam pembukaan acara, Bapak Imam Nasai memberikan wawasan mengenai budaya. Bahwa budaya terlahir dari eskpresi budi dan daya dalam kehidupan manusia. Beliau juga menekankan pendekatan aturan dalam masyarakan lebih mudah dalam suasanan pendekatan budaya.




Selain itu, apresiasi kegiatan grumungan budaya ini juga datang dari  Bapak Kapolsek. Dalam sambutannya juga berpesan agar setiap individu. masyarakat agar menjadi polisi bagi diri sendiri. Selanjutnya beliau mengingatkan untuk selalu menjaga keamanan di lingkungan sekitar karena akhir-akhir ini banyak kriminalitas terutama pencurian kendaraan bermotor. Di akhir sambutannya beliau mengharapkan masyarakat saling mengamankan dalam menyambut Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Di akhir pembukaan acara beliau berpesan, "Terutama untuk kaum muda dimohon jangan menyebarkan infotmasi yang belum jelas ketika berselancar bermedia sosial." tandasnya. Ini berkaitan dengan UU IT yang bisa menyeret pengguna akun media sosial ke ranah tindak pidana.

Tokoh penggiat budaya Pekalongan juga turut hadir dalam acara Grumungan Budaya yaitu Mas Agus Sulistyo dan Kang Ribut Achwandi, penampilan pembacaan puisi dan pergelaran grup musik Rodesouth, salah satu band akustik dari Wiradesa yang menambah kehangatan dalam malam tersebut. Saat perjalanan diskusi Grumungan Budaya berlangsung, ada peserta yang merespon tentang mawa cara mengenai budaya setelah menikah oleh sebagian masyarakat Wiradesa. "Kebiasaan setelah menikah seringnya seorang suami ikut serta dalam keluarga istri. Seperti contoh dalam satu RT dengan jumlah 28 kepala keluarga, hanya 2 keluarga yang sebagaimana umumnya rata-rata pihak perempuan ikut dalam keluarga suaminya".

Pendapat tersebut di atas langsung mendapat respon dari Mbak Ardian menjelaskan, "Kebiasaan suami ikut istri disebabkan beberapa faktor diantaranya dalam keluarga istri yang mempunyai anak perempuan semua maka mereka membutuhkan sosok laki-laki dalam keluarga tersebut. Namun, keadaan itu juga berpengaruh ke keluarga lain yang turut juga mencontoh akhirnya menjadi sebuah kebiasaan". Berbeda dengan tanggapan oleh Kang Ribut Achwandi, menurutnya fenomena tersebut bukanlah mengenai budaya melainkan keadaan situasional sebagai penekanan suami untuk belajar bertanggungjawab kepada istri. Dengan satu atap dengan keluarga istri maka keberadaan suami jauh lebih memikul beban tanggung jawab keluarga.

Membahas Wiradesa Mawa Cara dengan melakukan pendekatan melalui pada permainan anak yang dari nenek moyang kita sudah mewariskan budaya luhur. Permainan tradisional Bentik, Jag-jag bruk, Dampu, Seketeng, Dul jim dan lainnya, kini sudah jarang tampak di kehidupan sekitar kita. Era gajet berbasis permainan elektronik telah menggeser permainan tradisional secara mendasar. “Bisa jadi nanti permainan tradisional tersebut bergeser dalam dunia virtual layar sentuh”, ungkap Mas Lufti sebagai moderator acara.

Ada istilah Mawa Cara di sekitar Wiradesa yaitu dalam profesi nelayan di pesisir pantura. Komunitas Pemuda Nelayan Wonokerto dalam paparannya menjelaskan berbagai istilah dalam menangkap ikan yaitu nggoto, miyan, milir dan tawur. "Nggoto berarti nggolek artho berasal dari dialektika antar nelayan sebagaimana mengingatkan untuk mencari uang (nafkah), miyang artinya proses perjalan dari rumah ke tempat perahu bersandar, kalau milir yang berarti berjalannya arah perjalanan tujuan berlayar biasanya sebagai komunikasi antara juru mudi (nahkoda) dengan awak kapal. Sedangkan tawur merupakan prosesi penangkapan dengan menjaring ikan.” papar pemuda yang sangat dekat dengan interaksi sosial masyarakat Pantai Wonokerto.

Pada acara Grumungan Budaya  Mas Agus Sulistiyo turut memantik semangat peserta untuk terus mengembangkan dan melestarikan budaya melalui grumungan ini. “Anda ini meskipun masih dalam embrio dan harus berproses panjang, kegiatan forum yang bersifat egaliter ini mendapatkan apresiasi dari daerah lain. Mereka melirik agar daerahnya juga ingin mengadakan acara Grumungan Budaya serupa sebagaimana ajang yang positif dan sangat menarik disajikan ke masyarakat”, ungkap beliau.



Mawa cara sebenarnya telah dilakukan oleh nenek moyang kita terdahulu. Dari kebiasaan grumungan mereka secara tidak langsung membuat peradaban kebudayaan. “Dahulu mbah kita untuk membuka daerah Wiradesa mereka melakukan grumungan hampir tiap malam. Mereka membangun pola adat istiadat, bahasa, dialek  dan sebagainya.” Papar Mas Agus Sulistiyo. Selain itu, beliau juga mengungkapkan manfaat dari grumungan ini yang berdampak pada pembentukan nilai kemanusiaan baik sisi batiniah maupun lahiriah secara kebudayaan.

Sebagai prolog pemaparan tema Mawa Cara Wiradesa Kang Ribut menjelaskan sifat budaya yang bersifat dinamis. “Kebudayaan ini berkembang tidak bisa statis. Kalau kita mempunyai sosial media maka kita pergunakan semaksimal mungkin untuk mendukung budaya kita. Bukan berarti gajetnya (alatnya) yang salah tapi sebenarnya sebenarnya kebiasaan kita dalam menggunakannya yang salah”, tandasnya.

Dalam pandangannya, bahwa budaya terlahir dari dimensi ruang dan waktu sangat relatif. Sedangkan batasan waktu itu sendiri tidak dapat dicapai. Menurut Kang Ribut, “Hari ini kita membahas tentang masa lalu, kemudian batasan masa lalu dan sekarang itu sulit untuk dilakukan. Jadi apabila kita menghadirkan budaya masa lalu ke masa kini pun juga tidak salah.”papar Kang Ribut.

Pada puncak acara Peserta Grumungan Budaya juga mendapat stimulus dari Kang Ribut mengenai Bahasa  simbol yang merupakan perwakilan esensi saja.  Untuk itu setiap istilah yang mejadikan Mawa Cara Wiradesa maka harus dicari Misalnya istilah miyang pendekatannya dari kata  menyang yang berarti berangkat. Dalam Bahasa Jawa Kawi Gyang sedangkan pada dialek Pekalongan menjadi gagiangan yang berarti untuk bergegas. Maka harus dicari  dimensi miyang dari ruang dan hitungan waktu harus dicari dan digali oleh mayarakat budaya sehingga melahirkan kreatifitas  rumus-rumus ala kearifan lokal Wiradesa sebagaimana Albert Einstein melahirkan rumus teori EmC kuadrat karena lahir dari kreatifitasnya yang terdesak. Kemudian acara Grumungan Budaya yang bertema Wiradesa Mawa Cara ditutup dengan acara saling berjabat tangan antara peserta dan nara sumber yang begitu sumringah mendapat pelajaran yang semoga bisa bermanfaat.



No comments:

Post a Comment