Saturday, 13 January 2018

Lamongan

Di Pekalongan, tepatnya di kota kelahiran saya, warung lesehan Lamongan menjadi primadona oleh penjaga malam di jalur pantura. Hampir di tiap 1 kilometer jalan, baik di sisi kanan maupun kiri bediri tenda yang menawarkan menu makanan baik digoreng maupun dibakar.

Sangat sederhana menunya, bisa bikin ketagihan mungkin saja iya, saya telah membuktikan. Tak kalah peliknya dari rasa sambal yang khas Jawa Timuran, saya pun mengajukan pertanyaan sebelum bakul Lamongan Cak Gondho Rukem ini menggoreng bahan masakannya,

"Mas kok tendo warung Lamongan kui gambar ayam, doro, urang karo iwake kui mesti di lukis, opo iku pesen ndek daerahmu kono mas?"
"Iyok mas, ndek kono aku mesene", sroong...ayam di goreng tenggelam, lalu "njumbul" ke permukaan penggorengan.
"Sampeyan ora tertarik anggo MMT mas, ndek Pekalongan kan akeh ta?",
"Ndilalahe nek anggo iku, ora payu mas".
"Ohh...Ngunu, tho...,"

Terjawab sudah meskipun bakul Lamongan itu agak kaget sambil mesam-mesem nanggapi pertanyaan saya tadi.

Perpaduan ayam lamongan yang garing kriuk serta sambal bertekstur lembut namun ada bagian yang kasar mungkin saja tomat memberikan nuansa beda di lidah. Ah...semoga bukan promosi sebagai testimoni saya.
Memang suatu masakan yang khas ternyata tidak lepas dari sebuah penampilan yang turut serta mempengaruhinya. Warung Lamongan ini sepertinya menjaga tradisi seni lukis dari masing-masing karakter hewan sebagai menu yang dihidangkan.

Berangkat dari kekerabatan, bisnis ini bisa berkembang dengan memulainya membuka usahanya sendiri. Layaknya langkah ini pantas di budidayakan oleh kebanyakan orang Lamongan. Jadi, sebelum membuka usaha secara mandiri, maka sewajarnya harus tetap mengabdi kepada seseorang yang di "peloni" (diajak untuk belajar), tetep mereka lakoni. Sedikit demi sedikit pengalaman itu terbentuk kemudian merangkak hingga berdiri sendiri kemudian berjalan.

Warung Lamongan meninggalkan khas dari seni lukisannya. Ternyata ada pula rumah makan Padang yang kental dari isi tulisan yang seringnya berwarna merah. Baik di papan nama pinggir jalan maupun di etalase bagian depannya. Mungkin lain waktu saya akan menanyakannya, semoga tidak lupa.

Wiradesa, 8 Januari 2018

model : Bos Pertamini dan Bos Rosok yang mirip Didi Kempot





No comments:

Post a Comment