Di
Pekalongan, tepatnya di kota kelahiran saya, warung lesehan Lamongan menjadi
primadona oleh penjaga malam di jalur pantura. Hampir di tiap 1 kilometer
jalan, baik di sisi kanan maupun kiri bediri tenda yang menawarkan menu makanan
baik digoreng maupun dibakar.
Sangat
sederhana menunya, bisa bikin ketagihan mungkin saja iya, saya telah
membuktikan. Tak kalah peliknya dari rasa sambal yang khas Jawa Timuran, saya
pun mengajukan pertanyaan sebelum bakul Lamongan Cak Gondho
Rukem ini menggoreng bahan masakannya,
"Mas
kok tendo warung Lamongan kui gambar ayam, doro, urang karo iwake kui mesti di lukis,
opo iku pesen ndek daerahmu kono mas?"
"Iyok
mas, ndek kono aku mesene", sroong...ayam di goreng tenggelam, lalu
"njumbul" ke permukaan penggorengan.
"Sampeyan
ora tertarik anggo MMT mas, ndek Pekalongan kan akeh ta?",
"Ndilalahe
nek anggo iku, ora payu mas".
"Ohh...Ngunu,
tho...,"
Terjawab
sudah meskipun bakul Lamongan itu agak kaget sambil mesam-mesem nanggapi
pertanyaan saya tadi.
Perpaduan
ayam lamongan yang garing kriuk serta sambal bertekstur lembut namun ada bagian
yang kasar mungkin saja tomat memberikan nuansa beda di lidah. Ah...semoga
bukan promosi sebagai testimoni saya.
Memang
suatu masakan yang khas ternyata tidak lepas dari sebuah penampilan yang turut
serta mempengaruhinya. Warung Lamongan ini sepertinya menjaga tradisi seni
lukis dari masing-masing karakter hewan sebagai menu yang dihidangkan.
Berangkat
dari kekerabatan, bisnis ini bisa berkembang dengan memulainya membuka usahanya
sendiri. Layaknya langkah ini pantas di budidayakan oleh kebanyakan orang
Lamongan. Jadi, sebelum membuka usaha secara mandiri, maka sewajarnya harus
tetap mengabdi kepada seseorang yang di "peloni" (diajak untuk
belajar), tetep mereka lakoni. Sedikit demi sedikit pengalaman itu terbentuk
kemudian merangkak hingga berdiri sendiri kemudian berjalan.
Warung
Lamongan meninggalkan khas dari seni lukisannya. Ternyata ada pula rumah makan
Padang yang kental dari isi tulisan yang seringnya berwarna merah. Baik di
papan nama pinggir jalan maupun di etalase bagian depannya. Mungkin lain waktu
saya akan menanyakannya, semoga tidak lupa.
Wiradesa,
8 Januari 2018
model
: Bos Pertamini dan Bos Rosok yang mirip Didi Kempot
No comments:
Post a Comment