Sesuatu yang membuat saya tidak iri
sekolah di MI dibanding dengan teman-teman yang bersekolah di SD hanyalah satu,
yaitu terletak buku paket pelajarannya.
Meski terkadang rasa iri itu
akan timbul kembali. Males-malesan berangkat sekolah di hari Minggu, sedang
teman lainnya bisa asyik menonton film kartun Conan, Doraemon, Dragonball Z dan
Crayon Shinchan, "Asem tenan tenan, koncone dewe kae biso libur"
kenang emosi teman satu kelas kala itu.
Buku paket ini merupakan
santapan wajib sehari-hari. Selain buku ini awet digunakan, dari kakak kelas,
hingga adik kelas, bisa dibilang merupakan harta satu-satunya sebagai materi
mengajar oleh bapak guru. Jaman itu minim literasi, sangat betul. Buku cetak terbitan
Erlangga pun bisa setara untuk membayar uang SPP satu bulan. Embah gogle waktu
itu masih baru ospek masuk kuliah semester 1, jadi menikah saja belum apalagi
sudah menjadi Embah. Begitupun sebelum Honda mengklaim istilah "One
Heart" sebagai slogannya, buku paket bagi kami sudah menjadi "Satu
Hati" dalam keseharian. Jadi Sampeyan engga perlu keget atau gumunan jika
istilah itu bisa nongol di balapan luar negeri.
Keterbatasa literasi, tak
ubahnya menurukan semangat belajar. Di musim hujan seperti sekarang ini, saking
takut buku paketnya basah terkena air hujan, bukunya kami simpan di dalam laci
meja. Meski keesokan harinya harus berangkat lebih pagi mengerjakan PR
bareng-bareng di kelas. Semua itu dilakukan agar fisiknya buku biar tetap utuh.
Usaha itu dilakukan karena bagi kami bantuan dari negara di sekolah swasta
sangat terbatas, pola prihatin kami mulai tertanam dan sangat sepele
"ngeman" buku milik negara.
Perilaku tersebut sangat
tergantung dari pola didikan oleh para guru swasta yang kala itu belum mengenal
sertifikasi. Mereka benar-benar puasa dalam perjalanan mendidik muridnya,
terutama bisa mengajarkan arti prihatin. Melalui buku paket, guru kami
menitipkan pesan untuk tetap eman kepada barang-barang milik negara, salam
takzim guru kami.
Foto :google
No comments:
Post a Comment