Sewaktu saya duduk di kelas 4
MI sebelum pulang sekolah pak guru sering mengadakan tebak-tebakan kode huruf
plat nomor kendaraan.
Setelah memastikan semua buku
telah dimasukkan ke dalam tas, beliau mengutarakan pertanyaan.
"Kode plat nomor K berasal
dari karesidenan mana?", ungkap pak guru yang berdiri di depan pintu
kelas.
Seketika itu teman saya
menjawab, "Karisedenan Pati, Pak Guru."
"Jawabannya betul sekali,
silakan bisa pulang dahulu." Teman saya bergegas lari membawa tasnya penuh
kebahagiaan bisa menjawab pertanyaan dari pak guru.
Aktifitas tersebut berulang.
Hingga keadaan ini membuat para murid harus menghafal khususnya kode huruf plat
nomor yang berada di Pulau Jawa.
Letak sekolah yang berada di
jalur pantura, membuat siswa bisa melihat langsung kode huruf plat nomor
kendaraan yang berlalu-lalang di jalur tersebut. Kelebihan itu acap kali saya
dan teman-teman juga suka main tebak-tebakan sepulang sekolah. Seakan teori
yang terdapat buku cetak kala itu bisa diaplikasikan langsung di lapangan.
Di antara deretan kode huruf
plat nomor tersebut, ada 1 kode yang beda karena tidak ada keterangan nama asal
daerah plat nomor tersebut dikeluarkan. Sontak teman saya ada yang bertanya mengenai
hal tersebut, "Pak guru, kode CC kui asale seko daerah ngendi, Pak? kok
ning buku tulisane Corps Consul?"
Kemudian pak guru menjawab,
"Pak guru kok belum tahu jawabannya Le, dilewati saja enggak akan jadi
pertanyaan kok".
Dengan raut muka belum puas,
teman saya hanya bisa memaklumi atas keterbatasan pak guru memberikan
jawabannya.
Mencari pengetahuan kala itu
harus banyak membaca beberapa literatur buku cetak yang harus membeli di toko
buku. Buku yang di pasok negara tidaklah cukup lengkap memberikan informasi
pengetahuan. Tidak seperti sekarang, kode huruf plat nomor kendaraan bisa
diakses dalam hitungan detik melalui mesin pencarian google.
Namun, apakah kemudahan
fasilitas itu bisa berbanding lurus dengan kualitas pengetahuan pendidikan anak
jaman sekarang? Sepertinya perlu dilakukan riset kecil-kecilan dalam bentuk
pertanyaan yang sederhana misalnya.
Saya berharap, mereka
seharusnya lebih berpengetahuan tidak sekedar membeo bahkan mengekor dari
tontonan yang menjadi tuntunan yang marak terdapat di media sosial bahkan di
dunia pertelevisian negara kita, semoga.
No comments:
Post a Comment