Budaya
itu masih berada di belakang gedung SD yang berisi berupa gamelan, gong maupun
gending. Ruangan yang juga tempat berteduh sarang laba-laba,juga kecoa
terdaftar sebagai penghuni tetap ruang kesenian.
Kurikulum
cukup hanya muatan lokal, yang seminggu "sepisan" guru itu membuka
ruang kesenian. Ketika pintu ruang itu dibuka, "Kreeekk..." , warga
kecoa pun berlarian lalu hawa pengap tak terelakkan.
Motivasi
kearifan lokal terbentur oleh cita-cita kebendaan yang menguncup, mengakar dari
negeri kapital. Semua berujung tentang menghasilkan sebuah gunung emas yang
berupa penghasilan.
"Ya...memang
realita".
Sementara
itu, fakultas budaya dianggap sebuah momok yang buntu akan pengharap hidup
apalagi berbicara mengenai hierarki dalam perusahaan.
Sedikit
demi sedikit hanya beberapa orang yang dari hatinya sudah menyatu dalam
keluhuran budaya. Lalu berjalan menjadi golongan sepi tanpa mengharapkan
sertifikasi. Yang bisa mereka lakukan adalah puncak kenikmatan hidup bahkan
menikmati irama-irama, agar tetap hidup meski bukan di tanah kelahirannya,
Jawa.
No comments:
Post a Comment