Wednesday, 31 January 2018

Upacara

Mbak Wiri yang besok mendapat tugas membaca pembukaan UUD 1945 pun mulai Minggu sore sudah berada di depan kaca. 

Tangan kanannya berisi 1 lembar kertas. Wajahnya mlotrok, antara bingung agak deg-degan. Kabar di grup wa kantornya upacara besok dihadiri oleh Pak Camat yang sengaja hadir ke desa tempat Mbak Wiri bekerja.

Anak semata wayangnya yang tahun depan masuk TK itu hanya bisa melongo. Melihat ibunya yang sedang "umbas-umbis" membaca paragraf tentang falsafah cita-cita negara.

"Le...le...dadi petugas upacara nembe sepisan kok jebule angel tenan", keluh Mbak Wiri.

"Upacara kui opo tho buk?", tanya anaknya panasaran.

"Upacara iku ngadeg neng lapangan, nyanyi Indonesia Raya, maca pembukaan ngrungoake pemimpin upacara, banjur balek madang sarapan", jawab sembari meletakkan fotokopian naskah pembukaan UUD 1945.

"Lha kok sarapan, bu?", tanya aneh anak itu.

"Lha nek ora sarapan biso semaput le, mangkat seko omah jam 6 esuk Le.", jawab pelan Mbak Wiri.

"Oh yo...bu, bener yo...lha nek upacara neng lapangan, kuwi Lek Dolah karo Lek Parmin kae podo melu ora bu yo?", tanya kembali dalam posisi duduk bersila menenteng mobil TAYO kesukaannya.

"Lek Dolah kae, kan kerjane neng sawah dadi petani, yo ora melu upacara tho, lha sing melu upacara kui Pak RT sing dadi pejabat desa.", Mbak Wiri bersabar dengan nada pelan menjelaskan.

"Lha kan, Lek Dolah karo Lek Parmin juga bisa nggawe upacara bu neng pinggir sawah kan melaske ora biso nderek upacara koyo ibuk?", dengan nada kecewa anak itu menyanggah jawaban Mbak Wiri.

"Besok nek thole wes gedhe, nek thole dadi pemimpin, Lek Dolah karo Lek Parmin kae diajak melu upacara sopo reti berkah dungone biso ndadekno negoro tambah makmur.", Mbak Wiri menghela nafas sambil mengusap rambut dan mendekap anaknya.

"Nggeh bu, dados presiden nggeh bu kados Pak Jokowi," jawab polos anak itu penuh yakin.

foto :google



Plat Nomor

Sewaktu saya duduk di kelas 4 MI sebelum pulang sekolah pak guru sering mengadakan tebak-tebakan kode huruf plat nomor kendaraan.

Setelah memastikan semua buku telah dimasukkan ke dalam tas, beliau mengutarakan pertanyaan.
"Kode plat nomor K berasal dari karesidenan mana?", ungkap pak guru yang berdiri di depan pintu kelas.
Seketika itu teman saya menjawab, "Karisedenan Pati, Pak Guru." 

"Jawabannya betul sekali, silakan bisa pulang dahulu." Teman saya bergegas lari membawa tasnya penuh kebahagiaan bisa menjawab pertanyaan dari pak guru.

Aktifitas tersebut berulang. Hingga keadaan ini membuat para murid harus menghafal khususnya kode huruf plat nomor yang berada di Pulau Jawa.

Letak sekolah yang berada di jalur pantura, membuat siswa bisa melihat langsung kode huruf plat nomor kendaraan yang berlalu-lalang di jalur tersebut. Kelebihan itu acap kali saya dan teman-teman juga suka main tebak-tebakan sepulang sekolah. Seakan teori yang terdapat buku cetak kala itu bisa diaplikasikan langsung di lapangan.

Di antara deretan kode huruf plat nomor tersebut, ada 1 kode yang beda karena tidak ada keterangan nama asal daerah plat nomor tersebut dikeluarkan. Sontak teman saya ada yang bertanya mengenai hal tersebut, "Pak guru, kode CC kui asale seko daerah ngendi, Pak? kok ning buku tulisane Corps Consul?"
Kemudian pak guru menjawab, "Pak guru kok belum tahu jawabannya Le, dilewati saja enggak akan jadi pertanyaan kok".

Dengan raut muka belum puas, teman saya hanya bisa memaklumi atas keterbatasan pak guru memberikan jawabannya. 

Mencari pengetahuan kala itu harus banyak membaca beberapa literatur buku cetak yang harus membeli di toko buku. Buku yang di pasok negara tidaklah cukup lengkap memberikan informasi pengetahuan. Tidak seperti sekarang, kode huruf plat nomor kendaraan bisa diakses dalam hitungan detik melalui mesin pencarian google.

Namun, apakah kemudahan fasilitas itu bisa berbanding lurus dengan kualitas pengetahuan pendidikan anak jaman sekarang? Sepertinya perlu dilakukan riset kecil-kecilan dalam bentuk pertanyaan yang sederhana misalnya. 

Saya berharap, mereka seharusnya lebih berpengetahuan tidak sekedar membeo bahkan mengekor dari tontonan yang menjadi tuntunan yang marak terdapat di media sosial bahkan di dunia pertelevisian negara kita, semoga.

Sugih Tanpo Bondo

Energi terberat manusia itu bisa terjadi ketika harus merasakan kebahagiaan, atas keberhasilan orang lain. Tentang harta, rumah, kendaraan, perkebunan, istri cantik serta anak-anak yang telah berhasil dalam keluarganya. Energi itu terlalu banyak terbuang memikirkan bagaimana harus bisa meniru atas keberhasilan itu, lalu memperjuangkan.

Dunia ini terus membuat manusia berjalan linear atas segala macam usaha. Tenaga, pikiran, tangan serta kaki terus diperdayakan. Perputaran waktu itu menghasilkan. Jika usaha itu dirasa masih kurang. Lalu diusahakannya kembali agar semakin bertambah.

Kemudian manusia itu terlanjur tenggelam dan pada akhirnya lupa. Ternyata masih ada sebuah tempat yang dahulu bersih tertata rapi oleh Tuhan, kini telah berubah. Atas usahanya itu kini terasa semakin kotor. Tidak pernah terurus kembali.

Tempat itu bernama hati.
Hati yang semakin keras untuk berbahagia. Hati itu masih miskin dan enggan untuk bisa tersenyum lalu berkata, "Aku bersyukur telah diizinkan Tuhan. Melihat kebahagiaan hartamu hari ini, aku sungguh sudah bahagia".

Cantelan

Orang di kampung saya sering menyebutnya cantelan. Kalau orang yang sudah pernah merasakan keju ayam berbalut saus tomat, "rada ingah-ingih", menyebut cantelan. Lebih nyaman menyebut kapstok, karena istilah dari bahasa Belanda ini sudah menyatu dalam bahasa nasional kita, kata serapan.

Seringnya cantelan ini berfungsi sebagai tempat menggantungkan pakaian di dinding. Meskipun sudah sesuai fungsinya pada kalangan tertentu meyakini, justru dengan adanya cantelan ruangan jadi semakin banyak nyamuknya. "Lho, kok bisa?"

Setelah beraktifitas, keringat yang berasal pori-pori kulit bisa meresap melalui pakaian. Singkat cerita beberapa pakaian yang berada di cantelan sudah tidak kering lagi. Artinya pakaian yang menggantung di dinding berpotensi meningkatkan kelembapan yang bagi nyamuk, ini sangat disukai. Di sela-sela pakaian nyamuk seringnya kongkow bareng serta melakukan hal-hal yang diinginkan. Apalagi pakaian yang berwarna gelap, mereka tidak kentara. Nyawa nyamuk bisa lepas ancaman dari manusia.

Berbeda dengan keadaan lain, menurut saya, fungsi cantelan dapat berfungsi dengan baik. Salah satunya di kamar mandi. Tentunya sangat melelahkan apabila fasilitas kamar mandi atau toilet tidak dilengkapi dengan cantelan. Mau menaruh pakaian harus mikir lagi. Mau di pegang susah, mau ditaruh tempat lain pun tidak ada. Sedang pada momen tertentu ada yang lebih darurat, perut mulas tanda-tanda hajat untuk segera ditunaikan, panik tidak keruan.

Cantelan juga selalu menitipkan pesan moral bagi manusia. Salah satunya agar mereka tetap "eling lan waspodo" bagi pemilik pakaian. Seluruh jenis pakaian dari sisi harga berpapun atau berhubungan dengan sebuah profesi tidak ubahnya akan dipakai selamanya. Jika telah sampai waktunya akan digantung tidak mempunyai digdaya apapun sedang pemiliknya sudah dipanggil oleh Kuasa-Nya. Cantelanpun tengah mengajak berdiskusi dengan manusia.



Buku Paket

Sesuatu yang membuat saya tidak iri sekolah di MI dibanding dengan teman-teman yang bersekolah di SD hanyalah satu, yaitu terletak buku paket pelajarannya.

Meski terkadang rasa iri itu akan timbul kembali. Males-malesan berangkat sekolah di hari Minggu, sedang teman lainnya bisa asyik menonton film kartun Conan, Doraemon, Dragonball Z dan Crayon Shinchan, "Asem tenan tenan, koncone dewe kae biso libur" kenang emosi teman satu kelas kala itu.
Buku paket ini merupakan santapan wajib sehari-hari. Selain buku ini awet digunakan, dari kakak kelas, hingga adik kelas, bisa dibilang merupakan harta satu-satunya sebagai materi mengajar oleh bapak guru. Jaman itu minim literasi, sangat betul. Buku cetak terbitan Erlangga pun bisa setara untuk membayar uang SPP satu bulan. Embah gogle waktu itu masih baru ospek masuk kuliah semester 1, jadi menikah saja belum apalagi sudah menjadi Embah. Begitupun sebelum Honda mengklaim istilah "One Heart" sebagai slogannya, buku paket bagi kami sudah menjadi "Satu Hati" dalam keseharian. Jadi Sampeyan engga perlu keget atau gumunan jika istilah itu bisa nongol di balapan luar negeri.

Keterbatasa literasi, tak ubahnya menurukan semangat belajar. Di musim hujan seperti sekarang ini, saking takut buku paketnya basah terkena air hujan, bukunya kami simpan di dalam laci meja. Meski keesokan harinya harus berangkat lebih pagi mengerjakan PR bareng-bareng di kelas. Semua itu dilakukan agar fisiknya buku biar tetap utuh. Usaha itu dilakukan karena bagi kami bantuan dari negara di sekolah swasta sangat terbatas, pola prihatin kami mulai tertanam dan sangat sepele "ngeman" buku milik negara.

Perilaku tersebut sangat tergantung dari pola didikan oleh para guru swasta yang kala itu belum mengenal sertifikasi. Mereka benar-benar puasa dalam perjalanan mendidik muridnya, terutama bisa mengajarkan arti prihatin. Melalui buku paket, guru kami menitipkan pesan untuk tetap eman kepada barang-barang milik negara, salam takzim guru kami.

Foto :google