Jenis
makanan buah ini sering saya temui di pinggir jalan menuju Lapangan Mataram Pekalongan.
Saya tertarik karena pada dasarnya saya ini dilahirkan sebagai penggemar
buah-buahan. Asinan bagi saya termasuk jenis olahan buah yang baru saya kenal pada
awal 2017 setelah pada tahun 2006 saya berhasil mencicipi sop buah yang mewabah
di sekitaran Semarang. Bentuk asinan berasal dari buah mangga muda atau orang
jawa sering menyebutnya dengan pentil
atau pakel.
Buah
pentil pada umunya mempunyai rasa
asam, kecut dan getir. Di kawasan pesisir pantura hampir rata-rata tiap rumah
terdapat jenis pohon mangga. Dari jenis harum manis, adas, golek, manalagi hingga
jenis lain yang sedikit harum yaitu mangga kueni. Ada pemilik pohon mangga yang
dikonsumsi sendiri ada pula yang dijual kepada pembeli. Biasnyanya pembeli
datang ke rumah memborong semua hasil panen tiap musim mangga. Jarang sekali
para pemilik pohon mangga menjualnya dalam keadaan rata-rata telah matang. Pada
umumnya para pembeli sudah memberikan uang tanda jadi meskipun mangga tersebut
masih dalam keadaan muda. Kemudian pada 2-3 bulan berikutnya barulah pembeli
tersebut akan datang kembali untuk memanennya. Namun, sistem tersebut untuk
kalangan tertentu tidak diperbolehkan karena lebih berpeluang rugi pada kedua
belah pihak. Makanya, kunci penentuan sistem jual beli tersebut terletak pada
pihak penjual yakni pemilik pohon mangga sedangkan pembeli akan mengikuti saja,
mereka meladeni berbagai sistem lainnya.
Setelah
mangga dipanen oleh pembeli pertama, rata-rata masih dalam keadaan random dari
mangga yang masih muda hingga yang sudah matang atau masyarakat Pekalongan
menyebutnya pelem. Saat itu pula
mereka berbondong-bondong menuju para tengkulak buah mangga tersebut dijual
kembali. Pada proses ini terjadi penyortiran dari segala macam jenis, ukuran
serta keadaan mangga. Pengelompokan tiap jenis serta ukuran mangga akan lebih
membedakan masing-masing harga kepada penjual buah lainnya. Kemudian pada
pengelompokan keadaan mangga baik yang masih mentah maupun telah matang
bertujuan untuk melakukan tindakan segera ataupun bisa dikemudian hari. Kalau
dirasa sudah menjadi pelem maka akan
segera dijual. Namun jika masih dalam keadaan pentil akan ada dua kemungkinan dijual atau dimatangkan paksa
dengan menggunakan karbit. Dari sinilah para penjual asinan memperoleh buah
mangga dalam keadaan masih muda.
Saat
saya tengah melintasi pedagang asinan dalam benak saya
bernarasi bahwa olahan buah pentil itu
berasa asin kemudian diberi sedikit gula merah. Rasanya akan lebih enak jika
diberi lombok merah agar sedkit pedas. Lalu segera saya berhenti menanyakan harga
per porsi asinan, saya tidak merasa gengsi dibilang cowok perhitungan, prekk
batinku.
“Mas
per porsi piroan?”, tanya saya kepada mas penjual asinan.
“Limang
ewu mas per bungkus”
“Oh,
iyo 2 bungkus mas dudu 2 porsi”, mas nya itu sedikit ngekek.
Segera
olahan pentil berwarna kuning itu diambilnya dari
etalase mirip akuarium kemudian dibungkus menggunakan plastik. Sepertinya merasa
kesulitan antara panjang potongan buah lebih besar dari bungkusnya lalu tak
lama kemudia bertanya lagi,
“Mas
diweneihi sambel mas?”
“Apa
ora otomatis tho mas?”
“Iyo
yo...mas aku sing keder”.
Masnya
masih fokus namun rada grogi karena hari itu pacarnya datang nemenin berdagang.
Saya
terpaksa kembali tersenyum kecil bukannya asinan itu harus ada penyertanya.
Masa iya saya harus makan pentil dengan
mengunyah getir dan kecut sesederhana itu?
Lalu
sambel itu diambilnya dari kotak sebelah samping gerobak biru berdekatan dengan
garam yang telah dicampur cabe merah. Pertanyaan itu kembali terlontar,
“Mas
diwenehi uyah ora mas?”
“Uyah
Meduro opo uyah Pekalongan mas?”
“Sek
mas tak tiliki bungkuse”.
“Iki
pabrike Pati mas”
Polos bener masny. Bela-belain ngecek di balik bungkusnya.
Merasa
rada lama kemudian pertanyaan terakhir menjebak saya,
“Sido
wenehi uyah mas?”
“Sido
mas wong uyahe wes dilebokke neng plastik ngunu kok”
“Lha...
dalah...wes kebacut mas?”
“Iyo
kalem baen”.
Langsung
saja saya melipir meninggalakan kemesraan mereka berdua.
No comments:
Post a Comment