Saya harus mengiyakan dari
berbagai kebiasaan berpakaian, saya termasuk sebagai seorang yang gagal modis.
Mengkombinasikan warna pakaian dengan bawahan beserta asesoris topi, kacamata,
ikat pinggang pun telak tidak ada nyambungnya dengan gaya tren
"fashionable" tahunan yang berkembang. Seperti layaknya gaya
laki-laki yang keluar masuk distro atau mall yang harganya terpaku mati seperti
harga NKRI saat ini.
Saya harus berdaulat pada
kehidupan saya sendiri dan semoga kebiasaan Anda pun juga tidaklah harus sama
dan menyetujui kebiasan yang saya lakoni.
Kejujuran berpakaian yang saya
rasakan adalah saat menggunakan kaos oblong, menggunakan celana pendek dan
sandal swallow biru putih, naik motor kemudian pergi ke pasar tradisional.
Motor saya parkir lalu
"ngobrol ngalor-ngidul" barsama pedagang molen, penjual bensin dan
mas-mas yang mengatur parkir di pinggir toko sepanjang pasar. Sangat damai
menyelami cerita pendek mereka. Mulai pertama kali berdagang yang tidak laku,
jatuh bangun dari hutang sana-sini dan masalah pesaing barang dagangan terus menghujani
telinga saya. Mereka seolah-olah kembali ke memori lama yang sangat jarang
orang tanyakan, mereka antusias. Lalu menceritakan pengalamannya lagi berdagang
dari daerah satu ke daerah yang lain.
Gaya tersebut kejujuran yang
teramat dalam dibandingkan dengan klimisnya rambut karena pomade, wanginya
pakaian karena "deodorant spray". Dengan cara itu mereka merasa
kurang leluasa berbicara. Bahkan untuk mengutarakan dengan bahasa "Jawa
Ngoko atau Jawa Kasar" mereka harus mentraslate menggantinya dengan "Krama
Inggil atau Jawa Halus", mereka sangat kesulitan terbata-bata.
Pengaruh penampilan saat kita
berbicara dengan orang lain menurut saya mempunyai andil menciptakan
keterikatan emosional. Terlebih dari itu kita terlalu membohongi diri sendiri. Keterikatan
itu memaksa orang lain harus "munduk-munduk" bukan mengenal seberapa
jauh tentang diri kita melainkan dari asesoris yang sengaja kita ciptakan.
Masyarakat kita disadari
ataupun tidak, belum bisa membedakan antara kebiasaan berpenampilan santai,
semi formal dan formal. Yang dipahami hanya ada kesamaan ketentuan dari asas
kebersihan, kepatutan, kerapian serta prioritas utama dari fisik personal. Asas
tersebut terpondasi kuat dari kebiasaan semenjak kecil yang terus dibawa hingga
dewasa.
Celana panjang, baju lengan
panjang, kaos kerah, kaos oblong, serta jaket menu pokok pakaian sebagian besar
seorang laki-laki Indonesia ketika keluar rumah. Format kepentingan, kondisi
cuaca diabaikan asalkan asas kerapian dan lainnya sudah mencakup rasa percaya diri
yang tak terhingga.
Di titik tersebut tingkat
keformalan penampilan terasa naik sedang format kepentingan diabaikan. Oleh
karenanya mudah untuk mengenal orang Indonesia di Singapura, kebanyakan mereka
memakai jaket dan terlihat formal sekali. Meskipun suhu udara tembus 34 derajat
celsius.
Ternyata bahwa gaya berpakaian
santai pada dasarnya gaya kejujuran menikmati hidup tanpa tendensi asesoris
yang kita ciptakan. Dengan cara yang mudah dilakukan dalam waktu singkat tanpa
keterikatan ketentuan dan itu ternyata dilakukan oleh masyarakat di negara
tetangga kita.
Foto Google
No comments:
Post a Comment