Lek Naryo pagi itu sudah disuruh
istrinya membeli nasi megono tepat di warung Lek Juminten yang terkenal dengan
megono sangitnya. Sambil tergopoh-gopoh Lek Naryo berjalan seakan tidak ada
spasinya meskipun menoleh kepala kesamping kiri maupun kanan. Belum sampai di
warungnya tepat di depan KUD tiba-tiba Lek Pardi bertanya,
“Lek Naryo...”, sambil memanggil nada
kencang.
“Kok sepertinya gugup sekali
jalannya?”, tanya Lek Pardi yang sedang naik motor.
“Iya Lek Pardi mau beli megono di
Warung Lek Juminten”,
“Kok buru-buru banget Lek Naryo”, Lek
Pardi kembali bertanya.
“Soalnya kalo gak cepat jalannya, nanti keburu
ramai warungnya”, jawab Lek Naryo sembari menoleh ke arah Lek Pardi.
“Owalah...ayo ikut bareng saja
kebetulan saya mau ke KUD sekalian”, pinta Lek Pardi yang kemudian disetujui
oleh Lek Naryo.
Sesampainya di depan warung, Lek Pardi
memakirkan motornya yang bersebelahan dengan sepeda Kang Wardoyo. Ternyata Kang
Wardoyo sudah berada di warung lebih dahulu dibandingkan mereka. Lek Naryo
merasa keget ternyata didalam warung sudah ada Kang Wardoyo.
“Lho...Kang War udah nyampe sini apa
gak nyawah?”,
tanya Lek Naryo sembari melangkah
duduk di kursi panjang.
“Udah Lek Naryo, hari ini masih nunggu
kiriman air untuk tandur. Lha Lek
Waryo sendiri kok tumben pagi-pagi betul sudah datang ke warung?” balas Kang Wardoyo.
“Anu Kang...istri mau ada acara arisan
kebetulan yang ngunduh rumahnya jauh
jadi berangkatnya lebih pagi...Lha sekarang saya disuruh beli sarapan megono”,
ucap Lek Naryo sambil memilih tempe goreng nampan plastik di depannya.
“Ooo...begitu Lek Naryo?”
“Wah...hebat ya...istrimu bergaulnya
dengan orang-orang kota arisan saja sampai harus berangkat pagi-pagi”, balas
Kang Wardoyo menanggapi jawaban Lek Naryo.
Seketika itu juga Mbah Roso datang
dengan tubuh membungkuk membawa sebuah tongkat kira-kira panjangnya 80
sentimeter dari kayu rotan. Tanpa basa-basi Mbah Roso masuk warung kemudian
memesan nasi megono kepada Lek Juminten.
”Jum...Nasi megono satu ya, jangan
dikasih sambel”, pesan Mbah Roso kepada Lek Juminten.
“Iya Mbah sebentar ya...Tak bungkusin pesanan Lek Naryo dulu”, jawab
juminten.
Keadaan berbalik arah percakapan
antara Lek Naryo dengan Kang Wardoyo setelah Mbah Roso datang. Tapi tiba-tiba
Kang Wardoyo ingat kejadian semalam melihat Lek Dharma memakai blangkon menuju
acara selametan ditetangga desa. Kang Wardoyo langsung bertanya kepada Lek
Naryo yang jarak rumahnya dengan Lek Dharma bersebelahan.
“Lek Naryo...Aku mau tanya sesuatu
tentang Lek Dharma”, sembari mengerutkan keningnya.
“Tanya tentang apa ya Kang Dharma?”.
Balas Lek Naryo dengan rasa penasaran.
“Semalam itu saya melihat Lek Dharma
memakai blangkon hitam dan pakaiannya juga hitam sampai celananya pun warnanya
hitam”,
“Apa Lek Dharma ikut aliran kejawen
Lek Naryo?” tanya Kang Wardoyo dengan nada pelan.
Lek Naryo masih diam sambil
menghabiskan tempe goreng yang ada dimulutnya. Seakan dia akan segera ingin
menjawab dari pertanyaan Kang Wardoyo.
“Lha kok Kang Wardoyo bisa tau kalau
Lek Dharma ikut aliran kejawen?”, balas Lek Naryo.
“Ya itu kan kira-kira saja Lek Naryo
makanya saya tanya, kali aja tau dengan kebiasaan Lek Dharma”, jawab Lek Wardoyo
dengan nada sedikit penyesalan atas prasangka dalih atas perkiraan.
Mbah Roso yang duduk bersebarangan
dari mereka secara tidak sengaja mendengar yang dibicarakan keduanya. Namun
beliau seakan tak menggubris percakapan seakan menimbulkan sebuah tanya tanya
yang belum terjawabkan.
“Lha menurutmu aliran kejawen itu
lebih seperti apa Kang Wardoyo?”, Lek Naryo menimpali pertanyaan yang ditujukan
kepada Kang Wardoyo.
“Ya sepertinya lebih mementingkan
budaya jawa daripada agamanya yang aku tahu seperti itu”, pungkas Kang Wardoyo.
“Ohhh...berarti kalau ada orang yang
suka memakai blangkon berarti urusan agamanya dikesampingkan seperti itu Kang?”,
tanya kembali Lek Naryo.
“Yaa...kurang lebihnya seperti itu Lek
Naryo”, balas Kang Wardoyo dengan nada bimbang.
“Apa coba tanya Mbah Roso saja yang
mengetahui makna blangkon yang sesungguhnya?”, usul Lek Naryo disela-sela
percakapan itu.
Pembicaraan mereka terasa buntu dalam
menyikapi fenomena tingkah laku Lek Dharma yang akhir-akhir ini memakai
blangkon. Terasa belum ada yang bisa memberi arahan secara positif dari hikmah
pemberitaan tersebut.
“Pripun Mbah Roso menurut simbah?”
“Lek Dharma kok akhir-akhir ini sering
memakai blangkon apa beliau ikut aliran kejawen ya mbah?”, ucap Kang Wardoyo
seakan masih penasaran terhadap kepastian jawabannya.
“Aku kok dari tadi mendengar kalian
bercerita mau tertawa sendiri”, jawab Mbah Roso.
“Lha kok malah tertawa tho Mbah?”,
ungkap Lek Naryo merasa keheranan.
Sementara Kang Wardoyo seakan buntu
tak berkata apapun setelah Mbah Roso mulai angkat bicara.
“Gimana gak ketawa sendiri, kekurangan
kalian itu menilai berdasarkan pakaian seseorang sedangkan pakaian itu terletak
hanya diluarnya saja. Bisa pula penilaianmu sesuai dengan tingkah lakunya bisa
juga tidak sama alias berbeda”, suasana terasa ada pencerahan dari pitutur
simbah.
“Sedangkan masalah blangkon itu tidak
hanya dipakai oleh aliran kejawen lha dulu walisongo pun menggunakan blangkon
sebagai wujud kecintaan budaya jawa. Jadi kalau Lek Dharma menggunakan blangkon
bukan berarti mengesampingkan agama, tapi melestarikan budaya jawa sebagaimana
ia bangga lahir dan hidup bersama budayanya”, pungkas simbah memberikan
penjelasannya.
“Ohh...begitu ya Mbah...Saya baru mudheng dan saya lebih mengerti tentang
menilai seseorang”, jawab Kang Wardoyo.
“Lek Naryo...ini nasi megononya 3
bungkus dan tempe gorengnya sudah matang ada didalamnya”, ucap Lek Juminten
sembari memberikan bungkusan plastik kepada Lek Naryo.
Percakapan diantara mereka telah usai
setelah Lek Naryo membayar pesanan nasi bungkusnya dan membawa hikmah pelajaran
untuk selalu berhati-hati menilai seseorang dari sebuah penampilan semata.
****
(tidak ada hubungan antara penokohan cerita dengan foto, hanya untuk memudahkan bentuk blangkon)
No comments:
Post a Comment