Friday, 8 April 2016

Menemukan Jawa di Salaman




Salaman sebuah kecamatan yang terletak kurang lebih 15 km dari Kota Magelang ke arah selatan. Jalan kecamatan ini merupakan jalur penghubung antara Semarang menuju Purworejo. Tiap harinya tak  jarang berbagai bus kota AKDP berlalu lalang melintasinya. Meskipun menjadi jalur lintasan pengendara, alam sekitar kanan kiri jalan masih hijau memberikan nuansa kesejukan khas Gunung Tidar Magelang. Salaman adalah tempat tempat teman saya Wahyu Widodo dilahirkan.

Keadaan geografis dataran tinggi, memungkinkan sebagian penduduknya bermata pencaharian bergantung pada alam. Pertanian salah salah satunya, sektor ini memberikan penghidupan serta memberikan kenyamanan batiniyah. Tak sekedar hanya mencari nafkah, melainkan berinteraksi langsung antara bekerja dg kehidupan sosial sebenarnya. Teman kerja, karyawan sekaligus tetangga, yg sangat erat keakrabannya. Belum lagi dg kearifan "pakewuh" atau sering orang bilang "tidak enak-an" menjadi benih-benih sifat tenggang rasa manusia yg terjalin begitu sempurna.

Kesejukan alam menyertai perjalanan menyusuri daerah sentra makanan khas Salaman. Perjalanan memasuki jalur pedesaan dg ukuran jalan single trek mobil pribadi. Jika bersimpangan dg kendaraan lain  salah satu dari mereka harus mengalah menepi hingga mendekati area persawahan. Ada interaksi persimpangan yg sangat mesra antar sesama pengguna jalan. Saling menyapa adalah warisan budaya setempat yg telah mengakar menjadi identitas daerahnya.

Saat teman saya, Wahyu Widodo menjadi "tour guide" sekaligus menjadi "driver" ia melambatkan laju kendaraanya hingga harus membuka lebar, kaca jendela saat bersimpangan dg pengendara motor, seketika itu teman Saya harus mengeluarkan sebagian kepala nya dg menunjukan senyum ramahnya.

"Nggo pak dhe...kulo riyen nggeh"

Pengendara sepeda motorpun berhenti sejenak 10 meter sebelum bersimpangan. Raut muka yg teduh tanpa rasa curiga dg senyum polos khas penduduk desa. Dialektika antar sesama penggguna jalan Saya temui di sepanjang jalan. Entah sesama pengendara motor maupun pejalan kaki. Sungguh nyaman sekali hidup di desa ini. Dg orang lain yang tidak mereka kenal pun, mereka dg ikhlas menyapanya dg kehangatan senyum terbaiknya.

Tidak pernah terlintas untuk memunculkan rasa sukuisme ditengah carut marut hilangnya sifat manusia yg sangat labil dg perkembangan zaman.

Tidak pernah bertendensi mengajak suku lain untuk bergabung menjadi suku jawa yg mungkin jumlahnya lebih besar dari suku yg lain.

Tapi mengajak untuk menjadikan suku nya menjadi identitas terbaik bagi sesama manusia dan bermanfaat bagi seluruh alam.

Jika Indonesia adalah makanan gado-gado dan suku bangsa adalah pembentuk makanan gado-gado, sambal kacang, sayuran, lontong dan lainnya. Maka jadilah sambal kacang yg paling enak, sayuran yg segar tanpa ulat dan insektisida, lontong yg padat berisi beras dan lain sebagainya.

Semoga jika kita semua bisa menjadikan resep kebangsaan yg sempurna dan diampuni oleh Sang Pencipta.

Amien.

No comments:

Post a Comment