Di
antara meriahnya suasana Hari Raya Idul Fitri 1438 H Majlis Masyarakat Maiyah
Suluk Pesisiran merangkainya dalam sebuah nilai-nilai kebersamaan dengan
mengambil tema Salim Salaman. Bertempat di Aula Pendopo Kecamatan Kedungwuni
Pekalongan kegiatan maiyah rutinan dihadiri oleh segenap penggiat Maiyah Suluk
Pesisiran, Bhaurekso Kendal dan juga sedulur Maiyah Pemalang. Acara dimulai
pada pukul 21.30 dengan diiringi grup Sholawatan Lintang Kerti dari Kecamatan
Wonopringgo Kabupaten Pekalongan.
Mengawali
acara maiyahan Mas Eko Suprihan kembali mengingatkan bahwa edisi Maiyah Suluk
Pesisiran kali ini adalah yang ke-20 artinya kegiatan rutinan ini sudah hampir
2 tahun berjalan. Kemudian dalam mukadimah acara Gus Muhib memaparkan
bahwasanya, “Salim salaman di masyarakat Pekalongan selalu identik dengan Hari
Raya Idul Fitri”, tegasnya. Namun beliau juga mempertanyakan kepada jamaah,
“Mengapa tradisi tersebut tidak dilakukan setiap hari?”, tentunya ini sebagai
sesuatu yang menarik dibahas lebih lanjut bersama narasumber Gus Asep, Kang
Ribut, Pak Suryo dan sedulur-sedulur penggiat maiyah lainnya.
Masih
mengenai beberapa hal yang menjadi tambahan kaidah-kaidah mengenai salim
salaman yaitu menurut Mas Eko Suprihan dalam paparannya mengatakan, “Adapun
salim ada proses kontak batin minimal antara dua individu manusia yang saling
mengingatkan”. Selain itu beliau juga memberikan pengertian, “Dari situlah akan
muncul sifat saling menyelamatkan manusia satu dengan lainnya”. Tidak berhenti
sampai disini ternyata salim salaman diperlukan kekuatan untuk meruntuhkan ego
dari sifat fitrah manusia, paparnya. Samakin banyak poin-poin yang ditambahkan
oleh moderator maka jamaah yang hadir sudah mulai terbuka mengenai pandangan nilai-nilai salim salaman
Perlahan
respon jamaah maiyah yang hadir mulai bermunculan. Dimulai dari Robi yang menanyakan,
“Apa sih sebenarnya perbedaan salim dan salaman?”, tanya pemuda yang diketahui
barasal Kraton Pekalongan. Lain halnya apa yang oleh dirasakan Budi yang menanyakan,
“Sebenarnya tujuan dari salaman itu apa?”, tegasnya dalam sesi diskusi kepada
jama’ah maiyah. Ternyata ada juga yang merespon baik, “Saya berharap bahwa
kegiatan rutinan Maiyah Suluk Pesisiran ini bisa keliling dari satu daerah ke
daerah lain misalnya di Kecamatan Bandar tempat tinggal saya”, ucap Yogi salah
satu jamaiyah yang sudah 2 kali ini mengikuti Maiyah Suluk Pesisiran.
Menanggapi
beberapa pertanyaan dari jamaah maiyah Gus Asep menerangkan mengenai kepasrahan
manusia kepada Allah SWT. Seberapapun kekuatan yang terdapat dalam diri manusia
pada titik baliknya sebenarnya manusia adalah makhluk lemah. Dari sini
penyadaran mengenai kepasrahan mengakui kesalahan harus dimiliki sebagai dasar
saling memaafkan satu sama lain.
Menurut
Pak Suryo, nilai yang dapat diambil dari kegiatan salim dan salaman yaitu dengan menyentuh
tangan dapat menunjukkan kesetaraan (saling menghargai) tanpa memandang status
sosial. Kemudain atas bertautnya tangan tidak hanya bersentuhan secara fisik
akan tetapi pertautan hati (rohani). Di sela-sela acara tersebut beliau juga
mengingatkan bahwa salim dan salaman tidak hanya pertautan antar manusia
melainkan ke seluruh alam berupa rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan.
Sebagai
praktisi pendidikan Kang Ribut memberikan sedikit wacana sebelum salim salaman
kepada orang lain maka alangkah baiknya menyalami diri sendiri. Kadang kita
meminta maaf kepada diri sendiri. Artinya pada setiap manusia hendaknya
mengerti tentang sesuatu yang menjadi hak dan kewajibannya. Terkadang manusia
pun tidak tahu bahwa sebenarnya tubuhnya perlu beberapa istirahat namun tetap
saja bandel menganggap sesuatunya bisa bertahan. Seperti halnya sedikit
pengalaman beliau ketika akan merasa sakit maka yang dilakukan hanya istirahat
total atau membangun pikiran positif dengan demikian maka tubuh akan timbul
sistem imunitas alami meski pada fase tertentu membutuhkan tindakan disiplinilmu kesehatan.
Menanggapi tema maiyahan salim salaman Mas Joko
selaku penggiat maiyah di Pekalongan, beliau memaparkan budaya salim salaman
bangsa Indonesia sudah ada dalam zaman
nenek moyang. Ada berbagai konteks salim, konteks salim sesama manusia, alam,
suku, bangsa dan masih banyak lagi perspektif lainnya. Selain itu juga Mas Joko
menekankan pada dasarnya maiyah itu menikmati proses bukan menanti hasil oleh
karena itu salim salaman memaiyahkan hati kita. Jangan kira permaafan itu hanya
manusia melainkan ada rangkaian permaafan kepada Allah SWT. Salim salaman
berupa permaafan adalah sifat kebaikan yang penting dimiliki manusia.
Memuncaki
acara maiyahan diisi oleh penampilan lagu-lagu kebangsaan oleh Suma Budhaya
yang membawakan judul lagu Rayuan Sunda Kelapa, Indonesia Pusaka dan juga tak
kalah menariknya lagu Sing Keri Cokot Boyo syarat akan pesan religinya. Kemudian
di puncak acara Lintang Kerti mengiringi alunan dizikir Duh Gusti dan Shohubul Baiti yang
dilanjutkan dengan saling bersalim salaman seluruh jamaah maiyahan.
.
No comments:
Post a Comment