Tuesday, 1 August 2017

Nilai Kebersamaan Salim Salaman

Di antara meriahnya suasana Hari Raya Idul Fitri 1438 H Majlis Masyarakat Maiyah Suluk Pesisiran merangkainya dalam sebuah nilai-nilai kebersamaan dengan mengambil tema Salim Salaman. Bertempat di Aula Pendopo Kecamatan Kedungwuni Pekalongan kegiatan maiyah rutinan dihadiri oleh segenap penggiat Maiyah Suluk Pesisiran, Bhaurekso Kendal dan juga sedulur Maiyah Pemalang. Acara dimulai pada pukul 21.30 dengan diiringi grup Sholawatan Lintang Kerti dari Kecamatan Wonopringgo Kabupaten Pekalongan.

Mengawali acara maiyahan Mas Eko Suprihan kembali mengingatkan bahwa edisi Maiyah Suluk Pesisiran kali ini adalah yang ke-20 artinya kegiatan rutinan ini sudah hampir 2 tahun berjalan. Kemudian dalam mukadimah acara Gus Muhib memaparkan bahwasanya, “Salim salaman di masyarakat Pekalongan selalu identik dengan Hari Raya Idul Fitri”, tegasnya. Namun beliau juga mempertanyakan kepada jamaah, “Mengapa tradisi tersebut tidak dilakukan setiap hari?”, tentunya ini sebagai sesuatu yang menarik dibahas lebih lanjut bersama narasumber Gus Asep, Kang Ribut, Pak Suryo dan sedulur-sedulur penggiat maiyah lainnya.

Masih mengenai beberapa hal yang menjadi tambahan kaidah-kaidah mengenai salim salaman yaitu menurut Mas Eko Suprihan dalam paparannya mengatakan, “Adapun salim ada proses kontak batin minimal antara dua individu manusia yang saling mengingatkan”. Selain itu beliau juga memberikan pengertian, “Dari situlah akan muncul sifat saling menyelamatkan manusia satu dengan lainnya”. Tidak berhenti sampai disini ternyata salim salaman diperlukan kekuatan untuk meruntuhkan ego dari sifat fitrah manusia, paparnya. Samakin banyak poin-poin yang ditambahkan oleh moderator maka jamaah yang hadir sudah mulai terbuka  mengenai pandangan  nilai-nilai salim salaman
                       
Perlahan respon jamaah maiyah yang hadir mulai bermunculan. Dimulai dari Robi yang menanyakan, “Apa sih sebenarnya perbedaan salim dan salaman?”, tanya pemuda yang diketahui barasal Kraton Pekalongan. Lain halnya apa yang oleh dirasakan Budi yang menanyakan, “Sebenarnya tujuan dari salaman itu apa?”, tegasnya dalam sesi diskusi kepada jama’ah maiyah. Ternyata ada juga yang merespon baik, “Saya berharap bahwa kegiatan rutinan Maiyah Suluk Pesisiran ini bisa keliling dari satu daerah ke daerah lain misalnya di Kecamatan Bandar tempat tinggal saya”, ucap Yogi salah satu jamaiyah yang sudah 2 kali ini mengikuti Maiyah Suluk Pesisiran.

Menanggapi beberapa pertanyaan dari jamaah maiyah Gus Asep menerangkan mengenai kepasrahan manusia kepada Allah SWT. Seberapapun kekuatan yang terdapat dalam diri manusia pada titik baliknya sebenarnya manusia adalah makhluk lemah. Dari sini penyadaran mengenai kepasrahan mengakui kesalahan harus dimiliki sebagai dasar saling memaafkan satu sama lain.

Menurut Pak Suryo, nilai yang dapat diambil dari kegiatan  salim dan salaman yaitu dengan menyentuh tangan dapat menunjukkan kesetaraan (saling menghargai) tanpa memandang status sosial. Kemudain atas bertautnya tangan tidak hanya bersentuhan secara fisik akan tetapi pertautan hati (rohani). Di sela-sela acara tersebut beliau juga mengingatkan bahwa salim dan salaman tidak hanya pertautan antar manusia melainkan ke seluruh alam berupa rasa syukur atas nikmat  yang Allah SWT berikan.

Sebagai praktisi pendidikan Kang Ribut memberikan sedikit wacana sebelum salim salaman kepada orang lain maka alangkah baiknya menyalami diri sendiri. Kadang kita meminta maaf kepada diri sendiri. Artinya pada setiap manusia hendaknya mengerti tentang sesuatu yang menjadi hak dan kewajibannya. Terkadang manusia pun tidak tahu bahwa sebenarnya tubuhnya perlu beberapa istirahat namun tetap saja bandel menganggap sesuatunya bisa bertahan. Seperti halnya sedikit pengalaman beliau ketika akan merasa sakit maka yang dilakukan hanya istirahat total atau membangun pikiran positif dengan demikian maka tubuh akan timbul sistem imunitas alami meski pada fase tertentu membutuhkan  tindakan disiplinilmu kesehatan.

Menanggapi tema maiyahan salim salaman Mas Joko selaku penggiat maiyah di Pekalongan, beliau memaparkan budaya salim salaman bangsa Indonesia  sudah ada dalam zaman nenek moyang. Ada berbagai konteks salim, konteks salim sesama manusia, alam, suku, bangsa dan masih banyak lagi perspektif lainnya. Selain itu juga Mas Joko menekankan pada dasarnya maiyah itu menikmati proses bukan menanti hasil oleh karena itu salim salaman memaiyahkan hati kita. Jangan kira permaafan itu hanya manusia melainkan ada rangkaian permaafan kepada Allah SWT. Salim salaman berupa permaafan adalah sifat kebaikan yang penting dimiliki manusia.

Memuncaki acara maiyahan diisi oleh penampilan lagu-lagu kebangsaan oleh Suma Budhaya yang membawakan judul lagu Rayuan Sunda Kelapa, Indonesia Pusaka dan juga tak kalah menariknya lagu Sing Keri Cokot Boyo syarat akan pesan religinya. Kemudian di puncak acara Lintang Kerti mengiringi alunan dizikir Duh Gusti dan Shohubul Baiti yang dilanjutkan dengan saling bersalim salaman seluruh jamaah maiyahan.
.

No comments:

Post a Comment