Thursday, 17 August 2017

Mendefinisikan Nilai Pahlawan

Di antara kemeriahan menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-72 kegiatan maiyah Suluk Pesisiran digelar pada tanggal 12 Agustus 2017 di Pendopo Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. Acara yang juga dihadiri oleh penggiat Maiyah Gambang Safa’at, jamaah Suluk Pesisiran, kelompok Duror Al Musthofa dari Medono, grup sholawatan El Fata dan Lintang Kerti dari Pekalongan. Beberapa deretan  nara sumber yang akan membahas tema maiyahan yaitu dari tokoh sejarahwan Pekalongan Pak Dirhamsyah, budayawan Pak Suwito dan dari kalangan tim penulis sejarah Mas Agus Sulistyo beserta Mas Tifyani.

Tema kepahlawanan didaulat menjadi sesuatu yang akan dibahas lebih lanjut dalam sesi diskusi bersama penggiat Gambang Syafaat Mas Muhajir beserta Gus Aniq dan yang tidak kalah menariknya ada tamu spesial yaitu Pak Budi Maryono yang jauh-jauh dari Semarang untuk menyempatkan diri membaca cerpen di edisi maiyah kali ini.

Membuka tema maiyah Mas Agus Sulistyo membabarkan mengenai paradigma pemahaman pahlawan sering dipahami dari luar mengenai sosok yang telah berjasa dan berjuang tanpa pamrih. Namun apakah benar demikian keadaannya dalam sifat-sifat tersebut bisa semua lolos tanpa niat kepamrihan?. Bahasan ini setikdaknya membuka diskusi lebih lanjut agar setiap sesi berlalu penuh hangat kebersamaan.

Mas Muhajir pelan-pelan merespon kepahlawanan yang lebih menitikberatkan kepada sifat yaitu rela berkorban, memberikan kemanfaatan, berjiwa besar dan lain sebagainya. Sedangkan juga istilah yang berkembang yaitu pemahlawanan, yang memang sengaja mengangkat seseorang yang dipahlawankan. Biasanya untuk jenis ini bergantung sekali dengan kekuasaan pemerintah yang menentukan pantas atau tidaknya menjadi seorang pahlawan.

Di sela-sela pembukaan acara maiyahan Gus Anik menuturkan bahwa  akhir-akhir ini dari sisi lokal maupun secara global yang sengaja ingin memunculkan pahlawan sesuai dengan sejarah dari perspektif realitas daerahnya masing-masing. Seperti di Pekalongan sendiri sedang digagas mengenai sejarah pahlawan yang yang pertama membabat alas hingga menjadi beradaban hingga sekarang. Justru ini sosok pertapaan pahlawan yang selama ini berjasa masih terus bersembunyi yang sering disebut dengan local hero.

Bahasan lebih mendalam ketika Pak Suwito mulai memberikan prespektif mengenai sejarah yaitu sejarah hanya dimiliki oleh seorang pemenang sedangkan sesorang yang kalah maka tidak mempunyai sejarah. Beliau juga mengingatkan bahwa selama ini kita mengenal pahlawan dari dunia pendidikan baik itu benar-benar pahlawan atau seseorang yang dipahlawankan. Dari seluruh penjabaran di atas ternyata sangat sulit untuk mendefinisikan kriteria seorang pahlawan. Bagi beliau seorang pahlawan adalah seseorang yang tidak tampak yaitu rakyat kecil. Pejuang-pejuang yang gugur dan tidak diketahui siapa sebenarnya. Pahlawan-pahlawan tersebut menjadi narasi besar proses kemerdekaan bangsa kita.

Pada sesi diskusi maiyahan keadaan semakin hangat oleh beberapa respon dan pertanyaan dari jamaah. Pandu misalnya, “Sebenarnya kriteria apa yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang pahlawan?”, tutur pemuda yang berasal dari Pekalongan.

Mengenai pembahasan local hero Ardi pemuda berasal dari Kertijayan bertanya, “Bagaimana solusi penyematan kepada pahlawan lokal yang berasal dari masyarakat?”.

Merujuk kepada sumber sejarah, maka Galuh menanyakan, “Apabila ada 2 pendapat sejarah berbeda yang membenarkan sejarah itu siapa?”, tanya Pemuda yang berasal dari Kraton Pekalongan.

Sebelum jawaban disajikan oleh nara sumber maka Pak Budi Maryono berdiri di depan jamaah maiyah kemudian membacakan cerpen yang bertemakan tentang kerakusan sosok tikus yang suka berada di bawah meja, sela-sela kertas, di balik kantor yang membabi buta berlarian terus menerus. Kemudian jamaah maiyah terpukau atas ekspresi pembawaan Pak Budi Maryono bercertia saat anak tikusnya harus menangis setelah kepergian bapak tikus menuju istirahatnya terakhir. Memang beliau sangat mahir membacakan cerpen di muka publik, hingga idiom tikus kantor turut diceritakan sebagai seorang koruptor yang meninggal dengan penuh kealpaan .

Menanggapi beberapa pertanyaan dari jamaah sedikit demi sedikit nara sumber memberikan jawaban. Menurut Pak Suwito, segala macam persyaratan untuk dikategorikan sebagai pahlawan sesuai birokrasi pemerintahan harus sesuai dengan kriteria Dinas Sosial. Tata urutannya harus melakukan pengajuan terlebih dahulu ke biodata maupun bukti-bukti mengenai dasar sebagai pahlawan ke Dinas Sosial. Bersama pihak terkait maka akan dilakukan pengkajian yang kemudian akan ditentukan layak atau tidaknya disematkan tanda sebagai pahlawan. Tapi menurut beliau yang terpenting adalah bahwa semua pahlawan adalah rakyat Indonesia yang bermandi keringat memperjuangkan kepentingan bersama, tegasnya.

Penyematan pahlawan yang diberikan kepada seseorang bukan hanya sebagai unsur prestasi, apresiasi ataupun pemujaan melainkan untuk suatu kepentingan. Seperti kegalauannya Muh.Yamin tokoh nasional yang kala itu masih krisis percaya diri maka waktu itu mencari inspirasi yaitu Patih Gajah Mada dan kemudian mencari data-data mengenai sejarahynya beliau. Atas kejadian tersebut yang dapat kita ambil yaitu membakar jiwa nasionalisme maka perlu mengingatkan kepada rakyat bahwa sesungguhnya kita berasal dari kerajaan besar yaitu Majapahit. Maka diperlukan sosok pahlawan untuk kepentingan tersebut. Sehingga makna serta definisi pahlawan mempunyai multi tujuan. Mas Agus Sulistiyo juga tidak lupa mengingatkan kepada seluruh jamaah maiyah, “Setiap diri mempunyai nilai potensi untuk menjadi pahlawan. Sisi positif manusia mempunyai nilai yang dapat  bergerak bermanfaat untuk orang lain”, hal itu diungkapkannya  dipenutup sesi bicaranya.

Mengenai apabila ada dua pendapat yang berbeda mengenai fakta sejarah menurut Pak Tifyani, “Dalam sejarah tidak ada kebenaran mutlak, ketidakmutlakan itulah yang sebetulnya yang benar”. jawabnya. Peerbedaan dalam tafsir sejarah adalah hal yang lumrah terjadi. Ada sudut pandang yang mendasari sejarah itu diangkat. Maka sisi lain pun bisa terjadi misalnya siapa yang dominan pada pemerintahan tersebut maka golongangnnya akan diusulkan sebagai pahlawannya.

Pada puncak acara diskusi diambil oleh Pak Dirhamsyah dengan memberikan warning atas fenomena yang terjadi atas pembelokan sejarah yang akhir-akhir ini terjadi dan mungkin akan mengancam generasi berikutnya. Setelah Perang Diponegoro Belanda yang ingin membelokkan pemikiran nenek moyang di Nusantara yang sangat kontradiksi atas kejadian sebenarnya seperti sejarah versi mereka memutarbalikkan sifat Ken Arok. Selain itu beliau juga menceritakan secara singkat mengenai sejarah leluhur Pekalongan. Sekedar informasi di akhir sesi bicaranya beliau mengatakan, “Apabila Anda ingin belajar sejarah maka bukti bukunya beserta catatan  lontarnya Wali Songo yang ada di museum Ferarra di Itali”, ungkap beliau. Kemudian ada beberapa jamaah maiyah yang merasa sedih mendengarkan bukti-bukti tersebut untuk mencari celah menjajah bangsa Indonesia.


Acara maiyah ditutup dengan sholawatan Duh Gusti yang dilanjutkan berdoa bersama yang dipimpin oleh Gus Aniq dari Penggiat Maiyah Gambang Syafa’at Semarang. Tidak lupa pula, tradisi bersalaman seluruh jamaah kepada nara sumber  terus berlangsung sebagai tanda penghujung acara maiyahan.

No comments:

Post a Comment