Di antara kemeriahan menjelang HUT
Kemerdekaan RI ke-72 kegiatan maiyah Suluk Pesisiran digelar pada tanggal 12
Agustus 2017 di Pendopo Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. Acara yang juga
dihadiri oleh penggiat Maiyah Gambang Safa’at, jamaah Suluk Pesisiran, kelompok
Duror Al Musthofa dari Medono, grup sholawatan El Fata dan Lintang Kerti dari
Pekalongan. Beberapa deretan nara sumber
yang akan membahas tema maiyahan yaitu dari tokoh sejarahwan Pekalongan Pak
Dirhamsyah, budayawan Pak Suwito dan dari kalangan tim penulis sejarah Mas Agus
Sulistyo beserta Mas Tifyani.
Tema kepahlawanan didaulat menjadi
sesuatu yang akan dibahas lebih lanjut dalam sesi diskusi bersama penggiat Gambang
Syafaat Mas Muhajir beserta Gus Aniq dan yang tidak kalah menariknya ada tamu
spesial yaitu Pak Budi Maryono yang jauh-jauh dari Semarang untuk menyempatkan
diri membaca cerpen di edisi maiyah kali ini.
Membuka tema maiyah Mas Agus Sulistyo
membabarkan mengenai paradigma pemahaman pahlawan sering dipahami dari luar
mengenai sosok yang telah berjasa dan berjuang tanpa pamrih. Namun apakah benar
demikian keadaannya dalam sifat-sifat tersebut bisa semua lolos tanpa niat
kepamrihan?. Bahasan ini setikdaknya membuka diskusi lebih lanjut agar setiap
sesi berlalu penuh hangat kebersamaan.
Mas Muhajir pelan-pelan merespon
kepahlawanan yang lebih menitikberatkan kepada sifat yaitu rela berkorban,
memberikan kemanfaatan, berjiwa besar dan lain sebagainya. Sedangkan juga istilah
yang berkembang yaitu pemahlawanan,
yang memang sengaja mengangkat seseorang yang dipahlawankan. Biasanya untuk
jenis ini bergantung sekali dengan kekuasaan pemerintah yang menentukan pantas
atau tidaknya menjadi seorang pahlawan.
Di sela-sela
pembukaan acara maiyahan Gus Anik menuturkan bahwa akhir-akhir ini dari sisi lokal maupun secara
global yang sengaja ingin memunculkan pahlawan sesuai dengan sejarah dari
perspektif realitas daerahnya masing-masing. Seperti di Pekalongan sendiri
sedang digagas mengenai sejarah pahlawan yang yang pertama membabat alas hingga
menjadi beradaban hingga sekarang. Justru ini sosok pertapaan pahlawan yang
selama ini berjasa masih terus bersembunyi yang sering disebut dengan local hero.
Bahasan lebih mendalam
ketika Pak Suwito mulai memberikan prespektif mengenai sejarah yaitu sejarah hanya
dimiliki oleh seorang pemenang sedangkan sesorang yang kalah maka tidak
mempunyai sejarah. Beliau juga mengingatkan bahwa selama ini kita mengenal
pahlawan dari dunia pendidikan baik itu benar-benar pahlawan atau seseorang
yang dipahlawankan. Dari seluruh penjabaran di atas ternyata sangat sulit untuk
mendefinisikan kriteria seorang pahlawan. Bagi beliau seorang pahlawan adalah
seseorang yang tidak tampak yaitu rakyat kecil. Pejuang-pejuang yang gugur dan
tidak diketahui siapa sebenarnya. Pahlawan-pahlawan tersebut menjadi narasi
besar proses kemerdekaan bangsa kita.
Pada sesi diskusi maiyahan keadaan
semakin hangat oleh beberapa respon dan pertanyaan dari jamaah. Pandu misalnya,
“Sebenarnya kriteria apa yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang pahlawan?”,
tutur pemuda yang berasal dari Pekalongan.
Mengenai pembahasan local hero Ardi pemuda berasal dari
Kertijayan bertanya, “Bagaimana solusi penyematan kepada pahlawan lokal yang
berasal dari masyarakat?”.
Merujuk kepada sumber sejarah, maka
Galuh menanyakan, “Apabila ada 2 pendapat sejarah berbeda yang membenarkan
sejarah itu siapa?”, tanya Pemuda yang berasal dari Kraton Pekalongan.
Sebelum jawaban disajikan oleh nara
sumber maka Pak Budi Maryono berdiri di depan jamaah maiyah kemudian membacakan
cerpen yang bertemakan tentang kerakusan sosok tikus yang suka berada di bawah
meja, sela-sela kertas, di balik kantor yang membabi buta berlarian terus
menerus. Kemudian jamaah maiyah terpukau atas ekspresi pembawaan Pak Budi
Maryono bercertia saat anak tikusnya harus menangis setelah kepergian bapak
tikus menuju istirahatnya terakhir. Memang beliau sangat mahir membacakan
cerpen di muka publik, hingga idiom tikus kantor turut diceritakan sebagai
seorang koruptor yang meninggal dengan penuh kealpaan .
Menanggapi
beberapa pertanyaan dari jamaah sedikit demi sedikit nara sumber memberikan
jawaban. Menurut Pak Suwito, segala macam persyaratan untuk dikategorikan
sebagai pahlawan sesuai birokrasi pemerintahan harus sesuai dengan kriteria Dinas
Sosial. Tata urutannya harus melakukan pengajuan terlebih dahulu ke biodata
maupun bukti-bukti mengenai dasar sebagai pahlawan ke Dinas Sosial. Bersama
pihak terkait maka akan dilakukan pengkajian yang kemudian akan ditentukan layak
atau tidaknya disematkan tanda sebagai pahlawan. Tapi menurut beliau yang
terpenting adalah bahwa semua pahlawan adalah rakyat Indonesia yang bermandi
keringat memperjuangkan kepentingan bersama, tegasnya.
Penyematan pahlawan yang diberikan
kepada seseorang bukan hanya sebagai unsur prestasi, apresiasi ataupun pemujaan
melainkan untuk suatu kepentingan. Seperti kegalauannya Muh.Yamin tokoh
nasional yang kala itu masih krisis percaya diri maka waktu itu mencari
inspirasi yaitu Patih Gajah Mada dan kemudian mencari data-data mengenai
sejarahynya beliau. Atas kejadian tersebut yang dapat kita ambil yaitu membakar
jiwa nasionalisme maka perlu mengingatkan kepada rakyat bahwa sesungguhnya kita
berasal dari kerajaan besar yaitu Majapahit. Maka diperlukan sosok pahlawan
untuk kepentingan tersebut. Sehingga makna serta definisi pahlawan mempunyai
multi tujuan. Mas Agus Sulistiyo juga tidak lupa mengingatkan kepada seluruh
jamaah maiyah, “Setiap diri mempunyai nilai potensi untuk menjadi pahlawan.
Sisi positif manusia mempunyai nilai yang dapat bergerak bermanfaat untuk orang lain”, hal itu
diungkapkannya dipenutup sesi bicaranya.
Mengenai apabila ada dua pendapat yang
berbeda mengenai fakta sejarah menurut Pak Tifyani, “Dalam sejarah tidak ada
kebenaran mutlak, ketidakmutlakan itulah yang sebetulnya yang benar”. jawabnya.
Peerbedaan dalam tafsir sejarah adalah hal yang lumrah terjadi. Ada sudut
pandang yang mendasari sejarah itu diangkat. Maka sisi lain pun bisa terjadi
misalnya siapa yang dominan pada pemerintahan tersebut maka golongangnnya akan
diusulkan sebagai pahlawannya.
Pada puncak
acara diskusi diambil oleh Pak Dirhamsyah dengan memberikan warning atas fenomena yang terjadi atas pembelokan
sejarah yang akhir-akhir ini terjadi dan mungkin akan mengancam generasi
berikutnya. Setelah Perang Diponegoro Belanda yang ingin membelokkan pemikiran
nenek moyang di Nusantara yang sangat kontradiksi atas kejadian sebenarnya
seperti sejarah versi mereka memutarbalikkan sifat Ken Arok. Selain itu beliau
juga menceritakan secara singkat mengenai sejarah leluhur Pekalongan. Sekedar
informasi di akhir sesi bicaranya beliau mengatakan, “Apabila Anda ingin
belajar sejarah maka bukti bukunya beserta catatan lontarnya Wali Songo yang ada di museum Ferarra
di Itali”, ungkap beliau. Kemudian ada beberapa jamaah maiyah yang merasa sedih
mendengarkan bukti-bukti tersebut untuk mencari celah menjajah bangsa
Indonesia.
Acara maiyah ditutup
dengan sholawatan Duh Gusti yang
dilanjutkan berdoa bersama yang dipimpin oleh Gus Aniq dari Penggiat Maiyah
Gambang Syafa’at Semarang. Tidak lupa pula, tradisi bersalaman seluruh jamaah
kepada nara sumber terus berlangsung sebagai
tanda penghujung acara maiyahan.
No comments:
Post a Comment