Tugas
seorang kuli konon anjuran dari orang tua semenjak ritual masa coret-coretan
seragam putih abu dilakukan. Kuli tak ubahnya seorang yang bekerja berangkat
pagi sampai sore bahkan sampai malam. Kuli yang saya tekuni terlebih karena ada
rasa ketertarikan yang mendasar sekaligus bisa mengasah ketrampilan kemudian melahirkan sebuah profesi. Kuli yang
telah disepakati banyak orang adalah mereka kaum pekerja yang bertahan dari
otot-otot yang berada dibalik tangan serta punggung yang kekar melebihi batas
normal manusia biasa. Tidak ada perbedaan keduanya antara esensi kuli yaitu sama-sama
berusaha.
Namun
tidak hanya sekedar itu, karena pada dasarnya manusia mempunyai tujuan yang
sama yaitu memperbaiki kehidupan. Makna
yang terbesit dari arti kehidupan itu sendiri menurut saya bersifat
berkelanjutan tidak hanya sebatas fisik mempunyai massa (padatan) ataupun waktu
tertentu. Artinya sesuatu yang telah dilalui dari sama-sama sedang dalam dunia pendidikan
ataupun bekerja secara langsung ada hubungan komunikasi dari sang pencipta. Yang
membedakan diantara keduanya hanya masalah kualitas sinyal komunikasi yang
terhubung dan masing-masing individu mempunyai porsi serta cara
menyikapinya.
Kota
Semarang sebagai tempat terindah ke dua dari kota kelahiran. Dulu saat pertama
singgah 7 hari di Kota Atlas menurut peraturan kelurahan harus memiliki kartu
domisili dari kelurahan setempat sebagai penduduk sementara dan terasa ini
adalah kaidah teraman, karena E-KTP pada tahun 2006 pun belum ada. Beruntung keadaan pagi
disaat membuka jendela masih terhampar kebun kosong meski diisi oleh
semak-semak hijau lalu sedikit kabut turun hanya beberapa menit kemudian pergi
seiring munculnya sinar matahari. Lalu masih ada persawahan sempit yang
membatasi antara sungai kecil disitulah saya menemukan Semarang benar-benar nyaman
sebelum memulai aktifitas.
Porsi
pertemananan sangat memperhitungkan sepak terjang dari memahami kemampuan latar
belakang yang dibawa dari rumah. Tidak heran kalau ada selaput tipis yang
membatasi ruang gerak khususnya cara bergaul disaat lainnya harus nge-mall
ataupun sekedar nonton film di E-Plaza Simpang Lima. Maka ketertarikan dari
teman-teman lebih menyempatkan diri ala “Si Bolang” menelusuri persawahan pinggiran
jalan tol exit Tembalang dan ini sangat membuat nyaman.
Keadaan
sosial saling memberi kontribusi dari masing-masing karakter teman dan masyarakat
setempat secara langsung memberikan andil membentuk komunitas baru, mengenal
satu sama lain. Karakter dari daerah cukup berpengaruh khusunya mengenai tutur
kata, dialek serta etika yang dihadapkan dalam satu momen kebiasaan
sehari-hari. Dari sini maka pelajaran hidup sangat kaya akan rasa memahami,
mengerti, tenggang rasa bahkan rasa saling memiliki atas nama satu keluarga
yang mempunyai tujuan sama. Keadaan lain terikat oleh sebuah komunitas
masyarakat Semarang yang sudah mapan secara ekonomi karena aspek berbagai cara
yang ditempuh mereka baik dari jasa “kos-kosan” yang menghasilkan tambahan
finansial tiap bulan. Komunikasi verbal terjalin sebagai penghormatan kepada
masyarakat pemilik daerah setempat dan mereka pun telah disibukkan oleh
tugasnya.
Semarang
tidak jauh beda dengan daerah sama di sekitar Jawa Tengah, secara sosiologi
bahasa komunikasinya masih menggunakan Bahasa Jawa ini yang menyatukan
pemahaman serumpun bahkan senasib sebagai orang Jawa. Pada akhirnya saya sangat terkesan
pernah menjadi warga Kota Semarang.
foto : google.infotembalang
No comments:
Post a Comment