Saturday, 27 May 2017

Emak Sebatang Kara

Menjelang sore pulang kerja motor grand livina saya keluar dari parkiran kantor. Tas punggung sengaja saya letakkan di bagian dada meski bukan pada tempatnya cara ini sangat efektif menghalau hempasan angin saat berkendara. Tapi saat ini saya tidak akan membicarakan hal itu karena ada yang lebih membuat mata mrebes mungkin hanya perasaan saya saja demikian. Sekitar 20 meter dari tempat parkiran ada 2 turunan lurus menuju ke jalan raya dan membelok ke kanan menuju sebuah pemukiman warga. Dari sana saya melihat emak-emak berjalan menuruni menuju samping kantor tepatnya membelok ke kanan  pemukiman. Depan kantor saya langsung terhubung oleh jalan raya pantura searah, sedangkan bagian samping kirinya terdapat jalan tembus ke pemukiman warga. Dari jalan tembus ini biasanya digunakan sebagai alternatif jalur lawan arah bagi siapapun pengguna jalan termasuk emak-emak yang saya lihat.

Kain motif kembang-kembang warna biru membungkus kulit yang tidak segar lagi. Keriput wajah telukis diantara lelahnya berjalan sempoyongan membawa seberkas kertas di tangan kirinya. Sedangkan tongkat alumunium masih digunakan menahan beban tubuhnya karena kedua kakinya pun kekuatannya tidak biasa diandalkan lagi. Saat beliau berjalan ada sedikit bergumam lirih membawa perasaannya sendiri, “Urep dhewekan kok ngene rasane ora dhuwe anak...nelongso Gusti!”. Kalau ditranslate ke Bahasa Indonesia kurang lebihnya seperti ini, “Hidup sendirian kok seperti ini ya...nggak punya anak, begitu nelangsanya saya ini Tuhan!”. Begitu jelas suaranya menghampiri telinga saya seiring saya berusaha mendekatnya.

Belum berhasil saya berheti di depan beliau, karena suara motor grand saya beliau menoleh kebelakang terlebih dahulu. Terlihat sangat jelas sekali wajah beliau dan sebutan emak sangat tidak lazim karena semakin saya dekati maka prediksi usianya mendekati usia senja dengan ciri-ciri yang semakin mendekati benar. Mungkin dengan cara melihat fisiknya saya memprediksi bahwa usianya bisa mencapai 70 tahunan.  Sepertinya saya harus meralat panggilan emak-emak dengan nenek agar lebih jujur tentang keadaan sebenarnya.

“Nak-nak mbok aku dianterke balek omah, aku ora ono sing nyusul tak enteni ora teko-teko, urepku dhewekan ora dhuwe anak ”, secepat itu nenek berujar saat sebelum mesin motor saya matikan dan berhenti didepannya. Lebih terangnya bahwa nenek meminta saya untuk mengantarnya pulang ke rumah karena saudara yang katanya ingin menjemput dia tidak urung datang dan nenek terus memelas dengan menyebut hidupnya sendirian dan tidak punya anak.

Motor sudah saya hentikan saat setelah itu saya persilakan nenek tersebut naik membonceng di belakang saya. Sepanjang jalan beliau bercerita selama ini hidupnya sendiri. Hari ini jadwalnya periksa kesehatan datang dari jam 8 pagi  hingga sore ini mendekati jam 4 sore baru selesai karena terus menunggu jemputan tak kunjung datang akhirnya berusaha pulang jalan kaki. Makanya ketika melihat saya buru-buru beliau minta tolong agar bisa mengantarkannya ke rumah. Dengan laju kendaraan 20 km/jam perlahan rumah beliau semakin dekat dan alhamdulillah rumah sederhana warna putih terlihat sepi tidak terlihat adanya kehidupan di dalamnya. Setelah nenek turun dari motor saya segera berpamit pulang. Diperjalanan saya merasakan sepinya hidup sendiri tanpa anak dan terasa sekali dari cerita singkat dari nenek tadi.


No comments:

Post a Comment