Menjelang
sore pulang kerja motor grand livina saya keluar dari parkiran kantor. Tas
punggung sengaja saya letakkan di bagian dada meski bukan pada tempatnya cara
ini sangat efektif menghalau hempasan angin saat berkendara. Tapi saat ini saya
tidak akan membicarakan hal itu karena ada yang lebih membuat mata mrebes mungkin hanya perasaan saya saja
demikian. Sekitar 20 meter dari tempat parkiran ada 2 turunan lurus menuju ke
jalan raya dan membelok ke kanan menuju sebuah pemukiman warga. Dari sana saya
melihat emak-emak berjalan menuruni menuju samping kantor tepatnya membelok ke
kanan pemukiman. Depan kantor saya langsung
terhubung oleh jalan raya pantura searah, sedangkan bagian samping kirinya
terdapat jalan tembus ke pemukiman warga. Dari jalan tembus ini biasanya
digunakan sebagai alternatif jalur lawan arah bagi siapapun pengguna jalan
termasuk emak-emak yang saya lihat.
Kain
motif kembang-kembang warna biru membungkus kulit yang tidak segar lagi.
Keriput wajah telukis diantara lelahnya berjalan sempoyongan membawa seberkas
kertas di tangan kirinya. Sedangkan tongkat alumunium masih digunakan menahan
beban tubuhnya karena kedua kakinya pun kekuatannya tidak biasa diandalkan
lagi. Saat beliau berjalan ada sedikit bergumam lirih membawa perasaannya sendiri, “Urep dhewekan kok ngene rasane ora dhuwe
anak...nelongso Gusti!”. Kalau ditranslate ke Bahasa Indonesia kurang
lebihnya seperti ini, “Hidup sendirian kok seperti ini ya...nggak punya anak,
begitu nelangsanya saya ini Tuhan!”. Begitu jelas suaranya menghampiri telinga
saya seiring saya berusaha mendekatnya.
Belum
berhasil saya berheti di depan beliau, karena suara motor grand saya beliau
menoleh kebelakang terlebih dahulu. Terlihat sangat jelas sekali wajah beliau
dan sebutan emak sangat tidak lazim karena semakin saya dekati maka prediksi
usianya mendekati usia senja dengan ciri-ciri yang semakin mendekati benar.
Mungkin dengan cara melihat fisiknya saya memprediksi bahwa usianya bisa
mencapai 70 tahunan. Sepertinya saya
harus meralat panggilan emak-emak dengan nenek agar lebih jujur tentang keadaan
sebenarnya.
“Nak-nak mbok aku dianterke
balek omah, aku ora ono sing nyusul tak enteni ora teko-teko, urepku dhewekan
ora dhuwe anak ”, secepat
itu nenek berujar saat sebelum mesin motor saya matikan dan berhenti
didepannya. Lebih terangnya bahwa nenek meminta saya untuk mengantarnya pulang
ke rumah karena saudara yang katanya ingin menjemput dia tidak urung datang dan
nenek terus memelas dengan menyebut hidupnya sendirian dan tidak punya anak.
Motor
sudah saya hentikan saat setelah itu saya persilakan nenek tersebut naik
membonceng di belakang saya. Sepanjang jalan beliau bercerita selama ini
hidupnya sendiri. Hari ini jadwalnya periksa kesehatan datang dari jam 8
pagi hingga sore ini mendekati jam 4
sore baru selesai karena terus menunggu jemputan tak kunjung datang akhirnya
berusaha pulang jalan kaki. Makanya ketika melihat saya buru-buru beliau minta
tolong agar bisa mengantarkannya ke rumah. Dengan laju kendaraan 20 km/jam
perlahan rumah beliau semakin dekat dan alhamdulillah rumah sederhana warna
putih terlihat sepi tidak terlihat adanya kehidupan di dalamnya. Setelah nenek
turun dari motor saya segera berpamit pulang. Diperjalanan saya merasakan
sepinya hidup sendiri tanpa anak dan terasa sekali dari cerita singkat dari
nenek tadi.
No comments:
Post a Comment