Ada banyak
tulisan dari jasa penggandaan dokumen atau foto kopi. Dalam buku paket mata
pelajaran Bahasa Indonesia SMP saya dulu ada beberapa bagian yang mengulas jenis
penulisan. Di antaranya adalah photo copy, foto copy dan foto kopi maka tatanan
sesuai EYD yaitu dengan penulisan foto kopi. Namun, ragam tulisan dipakai
sehari-hari bebas semua tulisan dipakai. Asalkan calon pengguna jasanya
mengerti tanda bahwa kios tersebut bisa melayani foto kopi dan segala tambahan
beberapa penyedia alat-alat tulis lainnya.
Saya belum
pernah melihat imaji kratifnya pengusaha foto kopi yang sedikit
"mbanyol" dengan memberikan simbol kamera dan kopi. Bahwa ada dua
klausa kegiatan memfoto dan kopi. Bisa pula ini sebagai nilai plus dengan
fasilitas ngopi sembari menunggu proses foto kopi berjalan. Mungkin karena foto
kopi ini jasa yang berbau sedikit formal. Jadi tulisannya tidak sesantai di
warung kopi atau warung yang hanya ada lampu 5 Watt yang justru terlihat agak
remang-remang.
Sekitaran
kampus usaha foto kopian menjamur. Bisa dipastikan dimana ada gula pasti ada
semut. Tapi sebenarnya bukan gulanya yang disukai semut melainkan rasa
manisnya. Begitu pula para pengusaha foto kopi tidak terpancang pada kampusnya
melainkan interaksi simbiosis mutualisme antara para civitas warga kampus
dengan penyedia jasa foto kopian. Pemandangan lain di Kantor SAMSAT yang para
pengusaha foto kopian ini sudah hapal mengenai jumlah lembaran BPKB yang akan
difoto kopi berikut persyaratan lainnya.
Ada
beberapa simbol kreatifitas para penyedia jasa foto kopian. Beberapa kertas
hasil foto kopi yang masuk dalam kategori "reject" tidak terpakai
yang sengaja dikumpulkan. Hingga mencapai ketebalan tertentu mereka
memanfaatkan sisi kertas yang kosong dibuat sebagai nota pembelian. Selain itu
bungkus dari kertas foto kopian ada yang berinisiatif dijadikan tas tenteng
yang unik cukup buat wadah pengguna jasa foto kopian mereka. Saya kira para
pelanggan lain juga merasa senang atas pelayanan dengan memberikan fasilitas
tas yang cukup sederhana penuh kreatifitas.
Andaikan
mereka tidak berpikir lebih kreatif maka sampah kertasnya bisa merepotkan orang
banyak. Pertama merepotkan dirinya sendiri dengan membuangnya ke tempat sampah.
Tidak hanya sampai disitu. Sampah kertas tersebut harus menunggu lama dijemput
para petugas kebersihan. Dari tempat sampah harus membopong ke truk bak sampah.
Kemudian harus di antar ke tempat pembuangan sementara hingga ke tempat
pembuangan akhir. Betapa repot dan memakan waktu yang lama.
Pola-pola
kreatifitas demikian sejatinya sudah diterapkan dalam pendidikan Sekolah Dasar.
Dari dulu ada mata pelajaran muatan lokal yang di dalamnya ada unsur kerajinan
tangan dan kesenian. Hendaknya setiap orang yang telah mengenyam pendidikan
setelahnya bisa merepresentasikan kemampuan itu. Agar masalah sampah
sepenuhnya, tidak hanya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Melainkan diri
kita sebagai manusia turut bisa memperhatikan lingkungan sekitarnya.
No comments:
Post a Comment