Memahami
istilah keloloden sering dipakai masyarakat pesisir pantai utara. Wa bil khusus
wong Pekalongan, keloloden biasanya disebabkan jika makanan berada di antara
rongga mulut dan kerongkongan. Reaksi kejadian keloloden ingin sekali segera
dikeluarkan (dimuntahkan ) bahkan terdapat rasa kurang nyaman dengan ditandai
mata berair.
Bentuk
makanannya panjang dan lunak seperti sayur kangkung, sawi, kacang panjang dan
sebagainya seringnya sebagai penyebab keloloden. Pemicunya yaitu kurang kontrol
disaat proses mengunyah makanan yang terlalu singkat. Jadi keadaan makanan
belum dikunyah sepenuhnya. Apalagi ketika makan tergesa-gesa dan dibarengi
dengan ngobrol. Lebih berat lagi jika makan sembari debat argumentasi pemilu
2019. Saya kira hal itu bisa auto keloloden secara siginifikan.
Analogi
keloloden sama halnya menelan informasi yang sulit membedakan masih tahap
wacana atau akan segera direalisasikan. Seperti cerita Abu Nawas mengumpulkan
segenap masyarakat bahwa dirinya sebentar lagi akan terbang dengan segenap
kemampuannya. Mendengar hal demikian masyarakat begitu percayanya menunggu
aksinya di tengah sabana. Di atas panggung Abu Nawas telah siap dan masyarakat
lainnya menanti pertunjukan akrobatik yang dinantikannya.
Dengan
suara lantang Abu Nawas berkata, "Hadirin saya ini sebentar lagi akan
terbang", ucapnya. Beberapa menit kemudian Abu Nawas tidak bergerak sama
sekali dari posisi berdirinya.
Hingga
terjadi pada salah satu penontonnya bertanya, "Dari tadi masih di situ,
kapan terbangnya Abu Nawas?".
Saat
setelah nya beliau menjawab,"Lho, saya ini kan hanya bilang baru akan
terbang, berarti kan bukan terbang, ya posisinya seperti ini",jawab Abu
Nawas.
"Huuuu....Howalah...dalah...!!!Abu
Nawas ini memang orang aneh, kitanya saja yang terlalu bersemangat percaya
omongannya", penonton pulang penuh kecewa.
Dari
berbagai informasi yang beredar dari media elektronik pembaca seharusnya
memerlukan beberapa jarak sebelum diterimanya. Ada pendekatan yang bisa
digunakan misalnya "common sense" melalui nalar realita yang berada
dalam ruang pikiran kita. Bukan hanya melalui naluri hati yang tanpa batas
ingin selalu melampiaskan turut berkomentar bahkan membagikannya ke khalayak.
Ada identifikasi pertimbangan informasi yang bersifat independen dan berimbang.
Adakalanya informasi sekedar opini publik yang setiap orang boleh menggutarakan
pendapatnya. Ada batasan efek manfaat serta mudhorotnya dari dampak informasi
itu dan sebagainya.
Menunggu
klarifikasi agaknya bisa lebih bisa memperbesar resolusi pandang terhadap
masalah atau peristiwa yang terjadi. Meski berjalannya lamban, klarifikasi
bukan sebab dari jawaban informasi yang bergulir. Semakin berbeda esensi
klarifikasi dengan informasi, bukan menambah jernih melainkan berpotensi
mencari pembelaan lain apabila tetap tidak sependapat dengan nalar klarifikasi.
Keloden informasi ini layaknya keloloden makanan jika sudah masuk, ketika
dimuntahkan maka tidak mungkin dimakan lagi.
No comments:
Post a Comment