Sunday, 21 April 2019

Keloloden Informasi


Memahami istilah keloloden sering dipakai masyarakat pesisir pantai utara. Wa bil khusus wong Pekalongan, keloloden biasanya disebabkan jika makanan berada di antara rongga mulut dan kerongkongan. Reaksi kejadian keloloden ingin sekali segera dikeluarkan (dimuntahkan ) bahkan terdapat rasa kurang nyaman dengan ditandai mata berair. 

Bentuk makanannya panjang dan lunak seperti sayur kangkung, sawi, kacang panjang dan sebagainya seringnya sebagai penyebab keloloden. Pemicunya yaitu kurang kontrol disaat proses mengunyah makanan yang terlalu singkat. Jadi keadaan makanan belum dikunyah sepenuhnya. Apalagi ketika makan tergesa-gesa dan dibarengi dengan ngobrol. Lebih berat lagi jika makan sembari debat argumentasi pemilu 2019. Saya kira hal itu bisa auto keloloden secara siginifikan.

Analogi keloloden sama halnya menelan informasi yang sulit membedakan masih tahap wacana atau akan segera direalisasikan. Seperti cerita Abu Nawas mengumpulkan segenap masyarakat bahwa dirinya sebentar lagi akan terbang dengan segenap kemampuannya. Mendengar hal demikian masyarakat begitu percayanya menunggu aksinya di tengah sabana. Di atas panggung Abu Nawas telah siap dan masyarakat lainnya menanti pertunjukan akrobatik yang dinantikannya.

Dengan suara lantang Abu Nawas berkata, "Hadirin saya ini sebentar lagi akan terbang", ucapnya. Beberapa menit kemudian Abu Nawas tidak bergerak sama sekali dari posisi berdirinya.
Hingga terjadi pada salah satu penontonnya bertanya, "Dari tadi masih di situ, kapan terbangnya Abu Nawas?".
Saat setelah nya beliau menjawab,"Lho, saya ini kan hanya bilang baru akan terbang, berarti kan bukan terbang, ya posisinya seperti ini",jawab Abu Nawas.

"Huuuu....Howalah...dalah...!!!Abu Nawas ini memang orang aneh, kitanya saja yang terlalu bersemangat percaya omongannya", penonton pulang penuh kecewa.

Dari berbagai informasi yang beredar dari media elektronik pembaca seharusnya memerlukan beberapa jarak sebelum diterimanya. Ada pendekatan yang bisa digunakan misalnya "common sense" melalui nalar realita yang berada dalam ruang pikiran kita. Bukan hanya melalui naluri hati yang tanpa batas ingin selalu melampiaskan turut berkomentar bahkan membagikannya ke khalayak. Ada identifikasi pertimbangan informasi yang bersifat independen dan berimbang. Adakalanya informasi sekedar opini publik yang setiap orang boleh menggutarakan pendapatnya. Ada batasan efek manfaat serta mudhorotnya dari dampak informasi itu dan sebagainya.

Menunggu klarifikasi agaknya bisa lebih bisa memperbesar resolusi pandang terhadap masalah atau peristiwa yang terjadi. Meski berjalannya lamban, klarifikasi bukan sebab dari jawaban informasi yang bergulir. Semakin berbeda esensi klarifikasi dengan informasi, bukan menambah jernih melainkan berpotensi mencari pembelaan lain apabila tetap tidak sependapat dengan nalar klarifikasi. Keloden informasi ini layaknya keloloden makanan jika sudah masuk, ketika dimuntahkan maka tidak mungkin dimakan lagi.


No comments:

Post a Comment