Jabatan
nomor 1 di desa tak kalah menariknya seperti orang nomor 1 di Indonesia dalam
sekala kecil. "Dadi lurah kudu biso dadi panutan apik. Karo dicondongi
masyarakat ning deso. Niat mbangun deso, toto tentrem, kerto raharjo".
Niatan kecil itu minimal ada dalam hati mereka.
Mungkin
ini hal terkecil jabatan yang dipilih sebagai pelipur lara bahkan lebih
diuntungkan dibandingkan dengan jabatan RT tanpa gaji dan seragam. Malah juga
sering mendapat komplainan berupa ucapan "maido" khasanah dari warga.
Ya warga yang gundah gulana, tadinya mendapat jatah beras raskin secar
tiba-tiba jatah tersebut tidak lagi didapatkannya atau pembagian hal lainnya.
Proses
pemilihan kepala desa yang disebut kodrah lurah mempunyai rangkaian tahapan.
Dari pembukaan kesempatan menjadi kepala desa, proses pendaftaran, seleksi
serta penetapan calon kepala desa. Uniknya dari proses itu tidak terlepas dari
unsur kampanye dari berbagai tipe kampanye hitam (mukanya dilumuri cat
hitam...haahaa...) atau serangan bada isya atau menjelang fajar,
selain
yang mahfum menyampaikan program-programnya.
Dulu
sebelum adanya teknologi MMT proses kampanye masih menggunakan profil hasil
pertanian atau perkebunan. Gambar padi, ketela, kelapa, jagung dan lainnya
menjadi profil kampanye yang difotokopi ditempel mirip vandalisme iklan sedot
WC umum atau iklan obat kuat. Dari tiang listrik, pagar tembok, pos siskamling
atau di rumah calon kepala desa dengan menambatkan figur aseli di hadapan
rumah. Jadi kalau gambarnya ketela maka tak jarang di depan rumahnya terdapat
ketela yang sengaja dipampang digantung sebagai ikon kandidat kepala desa.
Tentunya
sangat menarik, dari perhelatan ini. Dari percakapan orang warung yang biasanya
ngobrolin musim buah dan panen berubah menghangat dari pertanyaan, "Sing
rame pilihan nomor piro?", meski yang bertanya bukan warga desa setempat.
Melainkan seseorang yang hobi turut memanfaatkan suasana yang berujung
pertaruhan.
No comments:
Post a Comment