Jadi, siang ini"mak jegagik" alias tiba-tiba teringat
Mas Ridho Rhoma yang mengaransemen kembali judul lagu "menunggu"
ciptaan seorang ayah, maestro "dangdut is music of my country"-nya
Indonesia. Musik yang bisa diterima ke aliran pop, malah bisa memberikan nuansa
baru meskipun lirik serta cengkoknya masih melekat erat membalut keseluruhan
lagu yang pernah hits nilainya kala itu. Nilai plus lain adalah kegantengan
beliau meskipun dikembalikan oleh relatifitas publik. Ini menyerobot penilaian
orang awam seperti saya sebagai sosok "good looking" tetap patut ada
pada pria kelahiran 28 tahun silam ini.
Lalu, apa yang bisa diambil dari
kata judul tersebut?
Lebih dipersempit lagi, saya
mengkontradiksikan dengan kejadian "nyelonong" semaunya sendiri,
dengan istilah antri yang seharusnya mudah ditemui oleh semua lapisan
masyarakat.
Bak kemarau panjang, mata air
tersebut tampak sebagai fatamorgana. Krisis nilai mengantri terus merebak,
malah berani merampas bahkan menghardik koridor jalur utama sebagai jalan aturan,
juga termasuk efek dari sebuah tatanan pengakaran kemudian tumbuh subur sebagai
birokrasi hingga sekarang.
Tidak jarang saya mendengar
celoteh ibu-ibu yang konon betah antri di kasir mall lalu bergumam, "Aku
kok ora betah nek kon antri pas wayah perikso neng puskesmas utowo rumah sakit,
mesti suwe".
Demikian pula ada tipikal
bapak-bapak yang gemar mengantri di warung ayu, meski yang melayani
"slundap-slundup", membuat kopi 3 menit, namun guyon colak-coleknya
hingga 15 menit. Seakan memperkuat argumennya, "Ah...bener omongane
sampeyan, nek meh perikso ngentenanane suwe".
Jikalau amnesia itu bukan
kelainan atau penyakit pasti saya setuju perihal itu sebagai kelalaian yang
disengaja, beranalogi dengan cuplikan lagu,"lali tenan opo pancen
nglali", kata Didi Kempot di Stasiun Balapan.
Karena di situasi lain ada respon
yang berbeda, tapi masih dalam fragmen yang sama yaitu mengantri dalam
pelayanan publik. Berlaku pada pelayanan publik di antaranya bank, koperasi
simpan pinjam atau sejenisnya yang berhubungan dengan utang piutang.
Tiap kali bersinggungan dengan
seorang teller, gincu merah, parfum yang tidak ditemui di pasaran, serta kulit
putih khas perawatan krim pagi malam itu benar-benar menghipnotis ruang batas
sadar para khalayak nasabah. Kalau saja saya tidak malu, saya tidak sungkan-sungkan
bertanya, "Mbak, pakai merek parfum apa sih, kok bau parfumnya tidak ada
di etalase Indomaret?".
Semuanya itu adalah hasil dari
tunjangan kecantikan atas tuntutan menarik dihadapan nasabah. Disadari ataupun
tidak semua itu sebagian diambil dari bea pinjaman, benar-benar tidak gratis
dan ternyata efektif membuat para nasabah bisa betah berlama-lama termasuk
dalam ruangan ber-AC.
Tidak berhenti disitu saja,
kesabaran nasabah ternyata masih bertahan. Tatkala harus duduk mengantri
pencairan dana pinjaman. Meski sang manajer bank sedang mengadakan rapat
tertutup dengan bapak direksi. Sekonyong-konyongnya, niatan dari semalam suntuk
menikmati durian runtuh pinjaman bank itu segera terjadi hari ini juga.
Sangat berbeda memang, pada
kondisi serta situasi yang mengharuskan harus mempunyai pandangan yang sama
tentang budaya mengantri. Maka seyogiyanya dalam diri manusia mempunyai jiwa
pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, berkedaulatan penuh dan berkeadilan
sosial. Pada diri manusia mempunyai upaya untuk membenamkan prinsip kemudian
berdaulat penuh atas keputusanya, lalu berniat "Antri adalah
budayaku". Sedangkan, berjiwa keadilan sosial mampu berusaha meletakkan
kesulitan yang sama pada situasi yang berbeda, namun bisa memerankan keadilan
dalam proses yang sama.
Jika orang tersebut benar-benar
ada, sudah selayaknya memegang prisip NKRI harga mati dan pro pancasila serta
Undang Undang Dasar 1945.
No comments:
Post a Comment