Sunday, 26 November 2017

Antri

Jadi, siang ini"mak jegagik" alias tiba-tiba teringat Mas Ridho Rhoma yang mengaransemen kembali judul lagu "menunggu" ciptaan seorang ayah, maestro "dangdut is music of my country"-nya Indonesia. Musik yang bisa diterima ke aliran pop, malah bisa memberikan nuansa baru meskipun lirik serta cengkoknya masih melekat erat membalut keseluruhan lagu yang pernah hits nilainya kala itu. Nilai plus lain adalah kegantengan beliau meskipun dikembalikan oleh relatifitas publik. Ini menyerobot penilaian orang awam seperti saya sebagai sosok "good looking" tetap patut ada pada pria kelahiran 28 tahun silam ini.
Lalu, apa yang bisa diambil dari kata judul tersebut?
Lebih dipersempit lagi, saya mengkontradiksikan dengan kejadian "nyelonong" semaunya sendiri, dengan istilah antri yang seharusnya mudah ditemui oleh semua lapisan masyarakat.
Bak kemarau panjang, mata air tersebut tampak sebagai fatamorgana. Krisis nilai mengantri terus merebak, malah berani merampas bahkan menghardik koridor jalur utama sebagai jalan aturan, juga termasuk efek dari sebuah tatanan pengakaran kemudian tumbuh subur sebagai birokrasi hingga sekarang.
Tidak jarang saya mendengar celoteh ibu-ibu yang konon betah antri di kasir mall lalu bergumam, "Aku kok ora betah nek kon antri pas wayah perikso neng puskesmas utowo rumah sakit, mesti suwe".
Demikian pula ada tipikal bapak-bapak yang gemar mengantri di warung ayu, meski yang melayani "slundap-slundup", membuat kopi 3 menit, namun guyon colak-coleknya hingga 15 menit. Seakan memperkuat argumennya, "Ah...bener omongane sampeyan, nek meh perikso ngentenanane suwe".
Jikalau amnesia itu bukan kelainan atau penyakit pasti saya setuju perihal itu sebagai kelalaian yang disengaja, beranalogi dengan cuplikan lagu,"lali tenan opo pancen nglali", kata Didi Kempot di Stasiun Balapan.
Karena di situasi lain ada respon yang berbeda, tapi masih dalam fragmen yang sama yaitu mengantri dalam pelayanan publik. Berlaku pada pelayanan publik di antaranya bank, koperasi simpan pinjam atau sejenisnya yang berhubungan dengan utang piutang.
Tiap kali bersinggungan dengan seorang teller, gincu merah, parfum yang tidak ditemui di pasaran, serta kulit putih khas perawatan krim pagi malam itu benar-benar menghipnotis ruang batas sadar para khalayak nasabah. Kalau saja saya tidak malu, saya tidak sungkan-sungkan bertanya, "Mbak, pakai merek parfum apa sih, kok bau parfumnya tidak ada di etalase Indomaret?".
Semuanya itu adalah hasil dari tunjangan kecantikan atas tuntutan menarik dihadapan nasabah. Disadari ataupun tidak semua itu sebagian diambil dari bea pinjaman, benar-benar tidak gratis dan ternyata efektif membuat para nasabah bisa betah berlama-lama termasuk dalam ruangan ber-AC.
Tidak berhenti disitu saja, kesabaran nasabah ternyata masih bertahan. Tatkala harus duduk mengantri pencairan dana pinjaman. Meski sang manajer bank sedang mengadakan rapat tertutup dengan bapak direksi. Sekonyong-konyongnya, niatan dari semalam suntuk menikmati durian runtuh pinjaman bank itu segera terjadi hari ini juga.
Sangat berbeda memang, pada kondisi serta situasi yang mengharuskan harus mempunyai pandangan yang sama tentang budaya mengantri. Maka seyogiyanya dalam diri manusia mempunyai jiwa pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, berkedaulatan penuh dan berkeadilan sosial. Pada diri manusia mempunyai upaya untuk membenamkan prinsip kemudian berdaulat penuh atas keputusanya, lalu berniat "Antri adalah budayaku". Sedangkan, berjiwa keadilan sosial mampu berusaha meletakkan kesulitan yang sama pada situasi yang berbeda, namun bisa memerankan keadilan dalam proses yang sama.
Jika orang tersebut benar-benar ada, sudah selayaknya memegang prisip NKRI harga mati dan pro pancasila serta Undang Undang Dasar 1945.


No comments:

Post a Comment