Sewaktu
Lek Karyo bekerja jadi tukang bersih-bersih, di sebuah fakultas kedokteran, ia
sering bercerita tentang kebiasaannya nguping ketika mahasiswa sedang kuliah.
Setelah
semua pekerjaannya rampung, kebiasaan Lek Karyo duduk di bawah jendela
Laboratorium Forensik. Sembari melepas lelah, topi warna biru kumal miliknya
sering di taruh di atas lutut duduk kakinya berselonjor. Sambil menahan kantuk
gliyat-gliyut. Lek Karyo berusaha mendengarkan diskusi dari seorang maha guru
forensik yang terkenal low profil tak tampak figur seorang dosen.
Meski
bau formalin yang sangat menusuk hidung, Lek Karyo berusaha menahannya. Maklum
mata kuliah kadaver ini memang tak setiap hari dilakukannya. Hanya di hari
Selasa, Rabu dan Jumat, laboratorium terasa hidup dengan beraneka ragam
mahasiswa yang sedang belajar anatomi tubuh manusia yang sudah meninggal.
Lek
Karyo tidaklah mudeng istilah-istilah yang baginya sangat asing. Bahkan orang
berpendidikan pun kalau bukan fakultas kesehatan tidaklah bisa mengerti dari
uraian dosen forensik ini kepada mahasiswanya.
Hari
itu memang masih rezekinya Lek Karyo. Rasa penasaran yang ingin ditunggu-tunggu
atas keunikan dosen yang sering menyelingi berbagai cerita tentang perjalanan
hidupnya. Bagi Lek Karyo mendengar cerita orang lain lebih penting dari sekedar
kebelet pub yang sekiranya masih bisa ditahan. Memang Lek Karyo manusia aneh,
tidak ingin ketinggalan cerita yang baginya mungkin bisa bermanfaat dikemudian
hari.
Setelah
Pak dosen berbagi ilmunya yang efektif hanya setengah jam. Beliau berganti
berbagi pengalamannya ketika bepergian. Kebiasaan itu dilakukannya semenjak
dulu menjadi mahasiswa hingga sekarang mendekati usia pensiun sebagai dosen.
Kebiasaan
aneh yang juga ikut diformalin layaknya instrumen-instrumen peraga ketika
mengajar, membawanya seperti figur ciri khas yang sangat melekat. Kebiasaannya
sebenarnya sangat sepele yaitu sering membawa selang ketika berpergian. Meski
menimbulkan pertanyaan ketika seseorang melihatnya malah juga bisa berujung
rasa penasaran fungsi alat yang digendong kemana-mana di tas ransel bawaannya.
Lalu
fungsi selang itu sebenarnya untuk apa?
Pertanyaan
itu juga menghinggapi benak para mahasiswanya ketika obrolan tersebut mencapai
titik klimaks. Begitupun Lek Karyo, dahinya agak mengkerut, penasaran cerita
yang ingin disampaikan hingga rasa kantuknya pun mulai hilang.
Rasa
penasaran pun mulai terkuak ketika beliau tidak suka naik mobil pribadi
kemanapun tujuannya. Bahkan untuk mengajar ke universitas tempatnya bekerja
beliau rela naik bus dengan 2 kali naik turun operan beda jurusan di tempat
tinggalnya Semarang. Kebiasaan ini juga diteruskan ketika mengajar hingga ke
Bandung dua kali dalam tiap bulannya.
Di
fasilitas umum, khususnya di terminal selang ini baru akan mulai bekerja. Ketika
beliau akan ke toilet biasanya membuka tas ranselnya dan mengambil selang yang
panjangnya hampir 2 meter. Seketika itu beliau menancapkan selang kedalam kran,
sebelum ia melanjutkan keperluan lainnya di toilet.
Lalu
alasannya apa menurut dosen itu?
Pertanyaan
selanjutnya muncul. Beliau masih meragukan kebiasaan orang-orang yang kadang
sembrono ketika menggunakan fasilitas MCK di terminal. Pengalamannya pernah
suatu saat menjumpai bahwa gayung atau tempat mengambil air bersih sudah terisi
air yang seharusnya berada di dalam kloset. Baginya merasa tertampar hingga
saat menjelang masa senja pun seakan-akan masih was-was dan memilih jalur
kebiasaan uniknya.
Lek
Karyo manggut-manggut, menemukan jawaban itu. Lalu Lek Karyo sore tadi berpesan
kepadaku sebelum pergi ke sawah.
"...Pekalongan
seh rob gedhe, eman-eman motormu. Gowonen selang mengko nek ono kran gratis
ndang kumbahono motormu kareben ojo cepet kropos!"
Seketika
itu aku menjawab, "Siap Lek Karyo....suwun wes di elengke....sampeyan
pengen di formalin ora Lek, koyo sing neng laboratorium forensik kuwi?",
jawabku sambil ketawa.
"Kowe
cen nggambleh...!"
No comments:
Post a Comment