Tanpa tidak disadari bahwa
sesuatu yang sudah manusia miliki menimbulkan batasan ruang cara berpikir.
Sebelum manusia berkembang, anak-anak adalah bentuk manusia yang jujur. Justru
karena sesederhana itu sebenarnya akan menjadi refleksi jawaban permaslahan bersama.
Untuk mengungkap masalah tidak
semuanya dimaknai dengan pengkategorian yang dibuat manusia. Pada ujungnya
manusia tak kan pernah mampu menggapai jawabannya. Karena pada diri manusia
hanya diberi pinjami kebenaran. Batasanya hanya seper sekian mikro dari ke-Maha
Tahu-an Tuhan pengatur alam semesta.
Sepatutnya anak-anak akan
senang ketika hujan tiba. Dunia mereka dalam bentuk keceriaan tanpa batasan
baik di tempat kering atau basah. Semuanya tidak terjadi begitu saja. Ada
sinyal sebagai petunjuk sederhana memaknai kegembiraan. Sedang pada manusia
dewasa untuk bergembira harus masuk dalam ranah pengetahuan melalui sel-sel
tentang sebab dan akibat, asal dan ciptaan, awal dan berakhir, dan sebagainya.
Dari pikiran kemudian dikomunikasikan dengan hati. Sedang di hati tidak ada
batasan manusia untuk berkeinginan. Dari keinginan itu maka ada gejolak itikad
serta langkah yang dibungkus dalam kepentingan manusia.
Lalu apakah cara keduanya
salah? Ternyata tidak. Ada dialektika antara proses manusia bertumbuh.
Bentuknya ada keterikatan dari masa lampau untuk masa sekarang. Hal sederhana
bisa menjawab yang rumit. Sedangkan yang rumit bisa menampakkan nilai-nilai
kebenaran Tuhan yang diwakilkan kepada melalui pengetahuan manusia dan sifatnya
bukan kepemilikan namun asas peminjaman.
Membedakan galon, botol
beserta cangkir harus memiliki ilmu titen. Membedakan bentuk, estetika,
material, fungsi, budaya, fisika, kimia dan sebagainya. Namun untuk menyikapi
kebijaksanaan manusia mungkin bisa memilih proses cara sederhana berpikir
seperti anak-anak yaitu semuanya sebagai wadah meletakkan benda-benda cair.
Sesederhana itu semestinya kedinamisan dialektika berpikir manusia menuju
manusia yang bijak.
No comments:
Post a Comment