Mempunyai
tetangga berlainan etnis bagi saya sebuah pengalaman yang dari dulu tidak
pernah saya bayangkan. Rasa-rasanya memang harus banyak bersyukur. Tuhan
sengaja menciptakan berbagai suku, bangsa, ras agar manusia saling mengenal dan
memahami serta mengambil bagian dalam interaksi masyarakat.
Rasa
semangat serta bahagia saya muncul saat mengerti bahwa hubungan itu tidak
sebatas, "Say... Hay..!" atau menyapa menggunakan klakson
"Tee...teet" saat berpapasan di jalan. Hubungan tersebut berkategori
baik namun masih dalam sebatas peleburan kewajiban ramah tamah, ternyata
keadaanya berbeda, lebih dari itu.
Yaitu
Om Kokoh, seorang laki-laki keturunan Tionghoa yang usianya telah senja, hampir
70 tahun. Ia masih suka jagongan pos ronda. Bersama warga lainnya mengisi
kegiatan keamanan. Melihat usianya sekarang, wargapun tidak mewajibkan turut
serta mengambil peran. Namun, Om Kokoh lebih mementingkan aksi interaksi.
Memudahkan langkahnya bergerak ngampling bareng serta tandang bareng.
Rumah
Om Kokoh berada di deret gubuk saya bagian barat. Sedang di depan rumahnya
terdapat pos ronda. Ini salah satu alasan beliau rajin bercengkrama bersama
warga.
Obrolan
yang sering terlontar dari mulut Om Kokoh tak kalah menarik yang bercerita
tentang masa mudanya. Ketika masih muda setiap hari beliau berinteraksi dengan
warga sekitar. Om Kokoh punya usaha toko material yang berada di pinggir jalan
Pantura. Biasanya jika membeli material dalam jumlah besar dan banyak, Om Kokoh
sering mengantarkan sendiri menggunakan L300 warna hitam ke rumah pembeli.
Dengan ciri khas bahasa Jawa ngokonya beliau merasa lebih santai ngobrol bareng
tukang bangunan yang telah akrab dengannya.
Memang
cerita beliau saya pahami betul dengan realitanya. Sewaktu saya kecil saya
sering melihat beliau nyetir mobil pickup mengantarkan besi, keramik dan semen
hingga berkali-kali dalam sehari.
Cerita
beliau memang penuh kejujuran. Setiap hari beliau tekun bekerja. Berangkat pagi
pulang sore besoknya stay lagi keliling mengantarkan pesanan. Jiwa melayaninya
telah terbentuk secara alamiah.
Semalam
bersama turunnya hujan agak besar. Dari pintu gubuk saya terdengar suara
laki-laki memanggil nama saya. Sontak saya bergegas keluar. Setelah pintu saya
buka Om Kokoh membawa plastik hitam kemudian berkata, "Kue keranjang ngge
Mas Syukron", sambil langkahnya berpamitan pulang.
Sembari
saya menutup pintu ada kebahagiaan dan juga penyesalan yang saya rasakan.
Energi ketulusan hati Om Kokoh tercermin dari langkahnya bersama hujan deras
masih saja memanen ladang kebaikan kepada tetangganya samping kanan kirinya.
Sedang
saya tiap kali Tahun Baru Hijriyah tak pernah ikut andil memanen ladang
kebaikan itu terutama kepada beliau.
No comments:
Post a Comment